Selamat Membaca Cerita Aishila:)
"MAKASIH udah dianterin sampe rumah." Aishila tersenyum manis. "Dan oh ya, makasih juga sama nasi gorengnya."
"Sama-sama. Habis ini, lo tidur aja, kelihatan banget dari kantung mata lo kalo lo suka begadang." Ardha mengacak lembut Aishila. Mendengarnya, dia tertegun. Ardha se-detail itu memperhatikan dirinya? Padahal, Aishila sendiri tidak pernah memeperhatikan wajahnya secara intens seperti Ardha.
Baru jadi temen aja udah diperhatiin kek gini, apalagi kalo nanti jadi pacar. Aishila masih tersenyum di tempatnya, menjadi enggan untuk meninggalkan Ardha. Aneh jika dipikir, padahal Aishila itu sebenarnya tipikal perempuan yang tidak mudah bawa perasaan terhadap laki-laki, tapi entah mengapa, setiap kali Ardha memperhatikannya, membuat setiap deru jantung Aishila makin bertalu-talu. Dan rasanya seperti ada yang menggelitiki setiap lekuk perutnya.
"Yaudah masuk, kayak nggak mau pisah sama gue aja." Ardha tersenyum jahil, tangannya menepuk-nepuk pipi Aishila dengan lembut. "Dan jangan lupa sering cuci muka, kulit lo agak kusam."
Aishila melotot. "Ah, kalo urusan yang berbau kecantikan, maaf ya, gue ada di peringkat paling akhir di dunia ini."
"Mau lo sejelek kutu item, gue juga tetep sayang lo."
"Enak aja dibilang kutu item," kata Aishila sambil mencubit lengan Ardha. Dan Ardha hanya meringis sebagai jawabannya. "Gini-gini gue cantik."
Ardha tersenyum. "Iya cantik, makanya gue sayang sama lo."
"Betah-betahin nungguin gue, ya? Gue akan coba buat pindahin hati gue ke hati lo. Siapa tahu, nanti hati gue cocok, terus kita saling nyaman satu sama lain." Setelah mengatakannya, Aishila langsung berlalu masuk ke dalam rumah. Ardha tercengan mendengar ucapan Aishila barusan. Bukankah itu sebuah harapan? Ya! Itu adalah harapan kecil yang sudah diberikan kepada Aishila untuknya. Tapi, senyum Ardha seketika terhenti. Bagaimana dengan Alan? Seharusnya, dia orang pertama yang mengungkapkan perasaannya kepada Aishila, bahwasannya Alan lah yang menjamah hati Aishila untuk pertama kali.
Mereka tidak tahu saja, bahwa Alan sudah ada di pekarangan ruman Aishila. Sebenarnya, dia kemari ingin mengajak Aishila untuk pergi ke tempat yang seharusnya ia janjikan kepada Aishia seminggu yang lalu. Tapi, karena melihat wajah Aishila yang sepertinya bahagia dengan Ardha, membuatnya untuk urung dan memilih menunggu. Alan tahu, ucapan Aishila tadi bukan main-main, sebab Aishila bukan orang yang suka memberi harapan palsu.
Alan menghembuskan napasnya berat. Apakah ini akhir dari segalanya? Alan bimbang, pikirannya makin berkedut. Dia harus bertahan atau menyerah? Jikalau Alan tidak sayang setengah mati dengan Aishila, mungkin dia memilih untuk menyerah saja. Eh, bukankah barusan Alan berpikir dia sayang kepada Aishila? Berarti dia sudah meng-konkret-kan hatinya, bahwa Alan memang suka kepada Aishila. Tapi, nampak dia mulai bahagia dengan Ardha, apa yang harus dilakukan?Menurutnya kali ini, terlalu sakit jika harus bertahan tanpa paham apa isi hati yang dipertahankan. Alan membalikkan badan. Sebuket mawar biru segar itu ia sembunyikan lagi ke dalam tas punggungnya.
"Udah puas ngintipin gue mulu, Lan?" Sebuah suara membuat langkah Alan terhenti.
Aishila sempurna berdiri dari balik pintu kamarnya yang berada di lantai atas. Senyumnya mengembang lebar. Dia bisa melihat siapapun yang ada di pekarangan rumahnya.
"Eh, Shil. Enggak." Alan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Aishila masih tersenyum. "Enggak apaan? Enggak mau kasih barang yang lo bawa tadi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menantang Matahari
Teen FictionSial! Kenapa yang namanya persahabatan lawan jenis itu pasti berujung pada hal laknat bernama jatuh cinta? Apakah matahari mampu ditantang? Tenanglah, ini hanyalah filosofi penggambaran yang mungkin ada diantara kehidupan kalian, yakni menyangkut ma...