Cahaya biru menyilaukan mata, Via masih memegang motor mencoba mendorong. Aku berhenti sedikit ketakutan, "Kak jangan dorong, ini mobil polisi beneran berhenti." Kebebetulan lampu jalanan mati hingga kami menjadi titik fokus. Dalam batin, aku benar-benar tidak bisa menikmati jeruji besi. Aku juga tidak mungkin jujur siapa yang mengenai asap pada kami."Budi?"
Jatungku merasa seperti teriris, melihat kak Budi dihadapanku. Mendengar Via menyebut namanya, aku yang orang lain pun ikut merasakan bagaimana hati mereka.
"Via." Perlahan Budi membelai rambut Via, aku sudah tidak bisa menahan haru menatap mereka. Selama tiga tahun setelah memutuskan hubungan, mereka tidak lepas komunikasi meski berakhir dengan pertengkaran. Namun tak sekalipun mereka bertemu secara langsung. Mereka seperti bisu bertatapan, kerinduan nampak pada setiap kerut wajah, setiap mata yang berkaca. Gemetar tubuh kak Via.
Pernah mendengar mereka bertengkar di telepon, berkali-kali. Sekarang tidak sedikitpun ku lihat mereka ingin bertengkar, mungkin amarah mereka adalah kata tersulit untuk mengungkapkan rindu.
Kadang berpikir, apakah Ibu Budi tidak pernah merasakan cinta. Apakah hanya karena satu atau dua hal yang disepakati dan Mereka tidak sejalan dengan Ibu Budi. Ia berhak memisahkannya? Begitu takutkah Dia kehilangan anak semata wayangnya, hingga bisa melukai cinta. Mereka tidak sedikitpun menangis, namun seluruh tubuh mereka bergetar dengan kerinduan. Aku tidak bisa menahan tangisku, cukup dengan melihat mereka saling menyentuh.
*
Sebuah restoran di prawirotaman, dengan wine dan bule-bule berserakan. Aku membiarkan Budi dan Via berdua, sementara seorang polisi gendut di sampingku memberikan kotak tisu menangis di meja terpisah. HARU.
"Harusnya kamu menghubungi terlebih dahulu saat ke jogja..."
"tidak Budi, Aku pernah menghubungi mu namun, aku tau saat ini kamu dinas di yogyakarta. Kamu satu rumah sama Ibu, aku sadar kamu ingin memberi kesan pada Ibu kalau kamu tidak berhubungan lagi denganku."
"Kita sudah bahas berkali-kali, kamu salah... hp ku ke restrat!"
"Budi, kamu juga ingin menjaga perasaanku. Aku tau kamu diposisi sulid. Pertama kali aku memutuskan mundur, namun kita tatap bertemu. kamu... kamu... selalu menghapus chat daftar telpon sesudah berkomunikasi denganku."
"Via aku..."
"jangan beralasan, setiap kamu pergi meninggalkanku di hotel sendiri. Aku selalu berkaca... apa salahku? Apa aku seburuk apa hingga kamu tidak memperjuangkanku..."
"Via."
"biarkan aku bicara, sampai saat ini aku sayang kamu..."
"kamu berkenalan dengan banyak laki-laki... kamu!"
"kamu yang bilang... itu giliranmu berjuang dengan caramu, namun saat aku memberimu kesempatan, kamu akan berjuang tanpa memikirkan siapa pun. Aku memilihmu, aku menolak niat orang untuk menikahi ku untuk ke tiga kalinya.... dan apa responmu? Kamu tidak ada niatan lagi, tidak denganku... tidak dengan siapa pun. (Tersenyum.) kamu sudah menikah kan sekarang?"
"Via,..."
"aku lihat bekas cincin di jari manismu, jangan berbohong... jangan seperti mamamu, menjaga perasaan hingga jadi bekas sakit membentuk cacat. Budi... kamu tau perasaanku, pergilah...
biar aku menikmati wine terakhir" dengan lembut Via memegang wine. Sementara kini setiap jarinya mengurat, rasanya ingin aku melempar Budi ke puncak gunung dengan magma menganga. Namun Via dengan kuat menahan segala emosi. "ini tempat kita bertemu dulu tiga tahun lalu. Memang tak adil buat ku, tapi jauh lebih tidak adil buat istrimu... dia tidak tau semua yang pernah terjadi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Universe of Love
RomanceTAMAT 18th+ "Berhenti mencintai seperti sisa kabut, biar hujan menghapusnya." -universe of love CINTA dan Gemerlap Seni Yogyakarta Catatan:walau sudah selesai tapi ini belum sempurna, kritik saran dipersilahkan