“siapa Ca?”“AH... enggak ternyata biasa aja, Ga.” Wajah Ica mulai kesal, kami duduk memperhatikan para senior lain memberikan petuah. Brian mulai mencuri pandangnya dan tangannya mengarah ke dada menggambar hati bercanda denganku dalam diam. Sedangkan Ica sudah hilang dari sampingku, sepertinya perlahan Dia menyingkir hingga tidak terdengar gerak dan suaranya.
“dasar bocah nakal!”
Mendengar keributan di lapangan falkutas membuatku berdiri dan langsung berlari, sepertinya malam keakrapan sudah dimulai. Beberapa junior menangis ketakutan dengan suara sekitar. Mata mereka di tutupi kain hitam, sementara senior-senior menyiapkan mie dan diberi parutan keju lemak sehingga memiliki tekature aneh, memaksa mereka memakan.
Saya pun ikut ambil adil membawakan beberapa remahan kerupuk dicampur air. Sudah ada satu orang muntah-muntah jijik namun ada pula satu yang sangat menikmati makanan itu.
“siapa tu yang tambun, malah dipuas-puasin makannya...”
“hahaha Odon Ga...” Ica mulai ikut teriak-teriak, benar suasana menegangkan. Namun kami tidak ada yang melakukan kontak fisik atau melakukan kegiatan diluar norma.
Ini adalah cara kami memberi kenangan pada mereka, karena aku pun merasakan kenangan itu dulu. Sampai saat ini setiap hari-hari menjadikanku rindu dengan senior-senior yang sudah pada ngartis di Jakarta, yang pada jadi seniman Tua di Yogyakarta, yang pada jadi Ibu rumah tangga. Life so fast.
Aku hanya satu-satunya senior yang tidak suka memaki dan teriak-teriak, hanya usil sedikit membuat mereka kehilangan barang karena asal-asalan menaruh. Berdiri aku menjauhi kerumunan, mendekati Fian yang mulai berjalan menuju Jurusan Musik.
“Fian,...”
“iya?”
“Kita baik-baik saja kan?”
“iya... kamu lapar? Di depan sepertinya masih buka warung.”
“iya, aku lapar.”
“oh, aku ambil motor dulu... kita ke MD aja gimana? Kamu pingin Big Mac ga?”
“iya boleh.”
Wajah lega dan senyum terlihat diwajahnya, aku juga tidak tau mengapa memanggilnya lagi setelah semua itu. Membohongi perasaanku juga sulit, hanya bisa memaafkan semua yang pernah terjadi.
Dia yang tampan sudah dihadapanku, ternyata masih sama rasanya seperti melihat cahaya bintang di rumah sakit dulu. Tidak ada yang lebih membahagiakan menaruh ikhlas dan memberi maaf. Memeluknya melanjutkan mimpi-mimpiku lagi di atas motor ini. Terbesit rasa bersalahku melihat Ica memperhatikan kami dari lapangan, aku hanya ingin bahagia.
Selama kami berjalan akhirnya aku paham, mengapa pertengkaran Ibu dan Bapak disetiap detiknya namun mereka tetap hidup bersama. Mungkin setiap detik mereka bertengengkar, pada detik berikutnya mereka sepakat saling memaafkan meskipun tanpa ucapan.
Fian sesekali melepas tangan kirinya dari kendali, menarikku untuk tetap memeluknya, menarik tangan dan menciumnya. Tidak ada segala sesuatu tanpa rencana. mungkin dengan beberapa minggu aku menjauhinya, dia mulai merindukanku.
“Mega, terimakasih.”
“untuk apa?”
“sudahlah... aku akan traktir kamu, kamu boleh makan apapun yang kamu mau!” semakin erat ku peluk Dia hingga setiap jalanan seperti tidak ada siapa pun, tidak ada lampu yang bisa mengalahkan terangnya Fian. Dia milikku, “kok muter-muter terus?...”
KAMU SEDANG MEMBACA
Universe of Love
RomansaTAMAT 18th+ "Berhenti mencintai seperti sisa kabut, biar hujan menghapusnya." -universe of love CINTA dan Gemerlap Seni Yogyakarta Catatan:walau sudah selesai tapi ini belum sempurna, kritik saran dipersilahkan