“halo... Cia? Kok diem... jawab dong, aku udah wa kamu berkali-kali. Sekarang kamu angkat tapi diem... cia...!”
Gracia menutup terleponnya. Lia disampingku mencoba mencari tau yang terjadi.
“Gimana Mega? Enggak dijawab juga?”
“Iya... kayaknya Fian udah broading. Gak bisa dihubungi juga hpnya,”
“sabar ya... bentar lagi kuliah, kamu jangan ke bandara lah.”
“Iya, eh... Cia telpon balik,”
“angkat Ga! Low speaker gih...”
“haloo Cia!”
“maaf ga, aku masih dibandara... belum berangkat kok kak Fian,”
“aku boleh ke sana?”
“ini aku di toilet, maaf tadi nggak angkat... juga nggak balas, aku bingung jelasinnya.”
“Iya, ada apa?”
“ada Ica Ga di sini. Sori ya... terserah kamu mau ke sini atau enggak, satu jam lagi kok baru terbang. Udah dulu ya Ga.” Mematikan telepon. Ku rasakan pening disekitar kening mendengar nama Ica di sana.
“Ga..ayo aku anterin ke bandara..!”
“Lah kamu bilang tadi mau kuliah!”
“udah seruan ini...”
“hah?”
“eh pentingan ini.”
Lia mengambil motor metic merahnya mencarikanku helm dan kini sudah sedia di hadapanku. Ragu ingin mengejar Fian karena dia kembali lagi bermain dengan Ica. Sisi rasa kesal dan takut kehilangan momen membuat seluruh tulangku linu.
Bahkan untuk sekedar membayangkan Fian dan Ica adegan terakhir sebelum Fian pergi sudah berhasil mematahkan hatiku. “ya Allah, beginikah perasaan Fian di MD malam itu.”
“ngomong apa si Ga?”
“udah ayo jalan...”
“Kita harus ngebut.”
Kendaraan kencang ini tidak lagi membuatku takut, aku takut melihat Fian memilih mencium kening Ica dari pada memelukku sebelum pergi. Mengapa masih ada cinta sedang kesepakatanku bulan lalu untuk merelakannya. Di pejalanan menuju bandara kututup helm dengan Filter hitam, saatnya bersembunyi untuk melegakan air mata ini pergi.
*
“Mega... kamu mau masuk kesana pakek helm?”
“jangan ketawa ya kalau aku lepas...”
“matamu bengkak, kamu nangis? Udah buruan masuk, eh bentar(membuka tas) ini tisu...!”
“Makasih Lia,”
Setiap area di penuhi rasa, di kuliahku sering mendapatkan perlajaran ini namun rasa yg ku olah berpura-pura, namun inu adalah rasa dari ratusan orang di bandara dan nyata. Ada yang memeluk anaknya dengan jeritan tangis, tidak rela bapaknya pergi. Ada pasangan muda seperti sedang merencanakan bulan madu. Ada bapak tua dengan koper besar sesekali memperhatikan jam dengan tiket di tangannya, dan ada Fian duduk. Rasaku seperti menerjunkan diri dari puncak tertinggi, gangsing berputar dihatiku. Melihat Fian, namun kenyataan berjauhan dengan Ica.
Tidak seperti yang ku bayangkan sebelumnya, tidak sedikit pun terlihat Ica berupaya mendekat.
“Fian?”

KAMU SEDANG MEMBACA
Universe of Love
RomanceTAMAT 18th+ "Berhenti mencintai seperti sisa kabut, biar hujan menghapusnya." -universe of love CINTA dan Gemerlap Seni Yogyakarta Catatan:walau sudah selesai tapi ini belum sempurna, kritik saran dipersilahkan