Semua ditulis dengan tinta, setiap lembarnya hingga titik penghabisan. Ini adalah caraku menyelesaikan makalah untuk mata kuliah filsafat, bolehkah kita membidik waktu untuk berhenti sesaat duduk di pantai kuta dengan bikini. Namun waktu mengejarku untuk segera menyelesaikan tugas semester 4.
Kini telepon berbunyi semakin menjadi, Iya ada tugas lain yaitu presentasi untuk tugas penyutradaraan non realis. Para pemain sudah siap, sedang aku lupa waktu. Segera ku tarik semua barang-barang dan dompet... oh iya! Handphone.
Berlari sekuat tenaga, hingga memasuki ruangan. Duduk dua Asdos sementara para pemain, sudah bersedia di panggung.
"Maaf pak... telat!"
"sudah cepat saja dimulai."
"iya pak..." segera ku mulai tanda pemain untuk segera memulai pentas.
Estragon dan Vladimir sudah mulai duduk di bawah setting pohon terbuat dari kawat besi, sengaja kubuat seperti menjorok dengan kawat-kawat menyerupai benteng pagar namun berbentuk pohon. Mereka duduk nampak benar-benar tidak ada gariah, tapi sangat kuat mengucapkan setiap kalimat.
"Cut! Bagaimana suasana menunggu kalian?" wajahku langsung berubah, mendengar kalimat asisten dosen yang satu ini, Mr Wahid.
"iya pak saya maksudkan untuk suasana jenuh, sangat jenuh." Mencoba mengklarifikasi dengan degup jantungku tertahan. Sabar. Sedang disampingnya asisten dosen ke dua Ibu Elfy mampak mulai menarik wajahnya menengadah ke langit, begitu kararter mereka ciptakan untuk menakuti konsepku.
"Seharusnya, Vladimir coba jalan seperti orang ngantri toilet... seperti kebelet ngising (pup)."
Aku mengorek kupingku, apa aku tidak salah dengar? Seorang asisten dosen memiliki kalimat yang demikian? "apa pak? Ngantri toilet?"
"Iya, kalian itu menunggu... ya harus kayak gelisah, masak nggak pernah kebelet masuk toilet."
"tapi Waiting for Godot, bukan antri toilet pak!"
"jangan bantah kamu Mega, garapanmu jelek jika nunggu kayak gitu!"
"kalian turun saja, saya tidak akan meneruskan presentasi kalau bukan Profesor Dani yang melihat pentas ini sendiri."
"Kamu bukan diposisi tawar Mega!", urat leher Mr Wahid mulai terlihat. Sedangkan kini pemainku keluar gedung dengan sedikit kebingungan. Kami disana lebih dari satu jam mengadu materi dan kini aku keluar gedung dengan dahi mengerut.
Satu hal yang tidak akan ku jelaskan ke mereka, waiting for godot adalah menunggu God (Tuhan) pertolonganNya. Bagaimana mungkin dia membuat situasi seperti mengantri ke toilet? Sedang yang ditunggu ini adalah keadaan menerus tanpa akhir.
"kak Mega?" pemain dengan wajah kebingungan duduk di loby.
"udah kita tidak usah presentasi."
"Tapi kak!"
"Tenang kalian tetap pentas."
Kini wajahku memperhatikan seorang senior artistik paling keren namun anteng, "kak Dani terimakasih settingnya, sangat sesuai dengan harapanku. Aku berkali-kali hanya bisa berterimakasih kak."
Senyumnya sudah cukup membuatku tenang. Sebenarnya ada benarnya kalimat Mr Wahid, Aku tidak diposisi tawar karena aku kuliah bukan seniman yang sedang mengerjakan karya di luar.
Emosiku memang sering tak terkendali. Tapi kenapa sikap Mr Wahid berubah? Bahkan baru sebulan ini aku melihat dia sangat ingin berseteru tegang dengan ku, disetiap kesempatan. Di setiap mata kuliah penyutradaraan non realis. Sedangkan semester kemarin di bidang studi dasar seni musik aku dapat nilai A, dia dosen utamanya. Padahal aku jujur paling cacat nada, dan tugasku hanya gabungan beberapa musik bukan alami buatanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Universe of Love
RomanceTAMAT 18th+ "Berhenti mencintai seperti sisa kabut, biar hujan menghapusnya." -universe of love CINTA dan Gemerlap Seni Yogyakarta Catatan:walau sudah selesai tapi ini belum sempurna, kritik saran dipersilahkan