Mengulang Lintang

41 6 0
                                    

Bis malam melaju kencang karena jalanan sudah sepi, aku melirik jalan telah melewati Sragen. Masih ingat beberapa hari kita mengadakan tahlil, masih ingat semua saudara dan simpati dari mereka. Bahkan aku mendengarkan telepon dari sahabat kampus, mereka ikut melaksanakan tahlilan. Suara tangisan Ibu di dalam kamar dan semua begitu cepat menghilang. Ku tahan nafasku, mungkin ini bisa menghentikan waktu. Ternyata tidak, bis ini tetap bergerak cepat.

Aku masih merasakan kegelisahanku pagi itu keliling mencari tiket bersama Fian seharian mengelilingi jogja, kebetulan hari itu long weekend libur hari merah bersambung minggu. Dan akhirnya menemukan Travel kecil dengan sisa satu saja tempat duduk. Aku menahan kantuk dan tangisku, rasanya setiap jalan aku ingin bilang ke semua bahwa aku orang yang kesusahan.

Sekarang bis malam membuatku seperti damai dalam gelap, menghadap kaca. Sebelum bapak meninggal Ia menanyakan apakah ada hujan. Ia selalu bertanya pada siapa pun yang Ia temui.

Perjalanan ini mengembun dengan gerimis padat. Kepalaku mulai pening dingin seluruh tubuh hingga pada akhirnya hidung mengeluarkan darah, aku terlalu lelah beberapa hari ini. Meski semua sudah terjadi, aku harus ikhlaskan untuk tetap meneruskan kuliahku, “pasti ada jalan.”

Selama perjalanan Fian menanyakan sampai mana? Udah makan? Bawa jaket? Dan masih banyak lagi, sedikit kuraih jaket Fian yang menemani perjalanan pulangku ke blitar, dan kini kembali ke jogja. Masih kental bau parfumnya. Aku rindu Dia, setiap kesedihanku ingin ku bagi bersamanya.

“Mbak turun mana?”

“Bandara pak.”

Melihat jam sudah pukul empat pagi, sebentar lagi setiap detakku, rasa tangis yang kutahan di rumah bisa kuluapkan dengan seorang calon komposer terkenal. Aku yakin dia akan berdiri tegap di gedung terbesar dunia. Suatu hari nanti dengan passionnya. Tapi untuk saat ini bahagia pernah menjadi bagian hidupnya.

Setiap garis batas jalan, beberapa traffic light hingga ku temukan dia berdiri dengan jaket motor hitam putih. Aku turun, Ia membantu mengeluarkan bawaan serta memeluk. Ia cium keningku , rasanya sudah tidak perlu menangis. Ketenangan melihat dia mencoba memastikanku selamat hingga bertemu adalah obat sakit setelah kepergian.

Kami melewati jalanan, memeluknya lagi duduk di atas motor. Semakin dalam perasaanku menghargai setiap detik kami.

“Kenapa diem aja?”

“nggak apa-apa Fian.”

“kamu ke kontrakan dulu ya... aku ingin ngomong serius.”

“Ada apa?”

*

Ku tata barangku, Fian sudah melepaskan jaket dan menyalakan film di leptop.
“sini, peluk aku.” Ragu jangan-jangan Fian mulai ke arah tidak wajar. “udah deh jangan mikir aneh-aneh." Aku perlahan mendekatinya, memeluknya tangisku pun pecah.

“sabar ya... selesaikan dulu nangismu, aku harus jujur.” Segera ku selesaikan tangis mencoba menahan diri untuk kelanjutan kalimat Fian.

“Ada apa?”

Fian memegang tanganku dan menatap mata serius, ini pertama kali dia melakukannya.

“mega, bulan depan aku akan meneruskan beasiswa ku ke Amerika. Ini kesempatan yang tidak semua pemusik bisa mendapatkannya.”

Jelas terkejut mendengar ini, belum siap aku jauh darinya. Setiap kali pagi hari aku hanya ingat setiap detail tubuhnya, rambutnya...! Parfumnya...!

Universe of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang