Aku dan dia berada di kelas yang sama. Pertengahan Sekolah Menengah Atas dan kami harus mulai berpikir, mana yang akan kami jadikan jalan menuju mata pencaharian kelak. Tapi dia selalu bertanya, membuatku mau tak mau ikut berpikir.
"Bapak nyuruhnya ke IPDN. Kedinasan. Nggak pengen sih sebenernya. Plan B nya paling ambil Jepang."
"Kemana?"
"Pengen yang jauh hahaha."
"Pengen jauh dari orang tua?"
"Ya nggak juga. Pengan nyoba aja. Tau sendiri aku mager banget anaknya. Kali aja bisa agak rajin kalo tinggal sendirian."
"Ati-ati lho kamu. Pergaulannya dijaga," dia selalu mewanti-wanti. Mengatakan untuk berhati-hati, jangan sembarangan, jangan pulang malam, atau sesuatu seperti itu. Dan aku menyukainya.
"Iya. Kamu gimana?"
"Paling ambil Sastra Inggris. Undip?"
"Aku juga disuruhnya disitu. Hahaha. Nggak boleh jauh-jauh. Padahal pengen."
"Lah aku malah disuruh yang jauh sebenernya."
Sebenarnya kami jarang membicarakan hal semacam itu. Lalu dia mengabariku, "aku mau coba beasiswa di UKSW. Tesnya TOEFL. Lumayan kan kuliah nggak bayar."
UKSW. Universitas yang sama dengan kakak laki-lakinya. Yah. Bagaimanapun akhirnya aku dan dia akan berpisah. Setelah kelulusan, semuanya selesai. Termasuk hubungan kami. Tidak ada niatan untuk melanjutkan ke pernikahan. Bukannya tidak ingin, lebih ke tidak bisa.
"Full sampe semester akhir?"
"Nggak tau kalo itu."
"Berarti kamu jadinya ke UKSW?"
"Iya. Kenapa? Pengen aku UNDIP sama kamu?"
Haha. Aku benci pertanyaan semacam itu. Diberi pilihan antara harus mengutamakan bakal kesuksesannya kelak, atau egoku yang hanya sesaat. Jika boleh jujur, aku ingin dia terus bersamaku. Tentu saja.
"Jangan. Perjuangin beasiswamu aja. Aku doain."
Aku buruk dalam menerka ekspresi. Jadi jangan tanya padaku bagaimana wajahnya saat itu.
"Iya. Makasih. Kamu juga. Aku kalo ke gereja doain kamu terus lho."
"Hahaha. Enggak deh. Kamu doa sendiri ntar aku bantu ngaminin."
"Wah. Jahat banget sih."
"Iya.. Iya.. Kalo solat aku doain terus. Udah ah."
Lucu rasanya. Membayangkan aku peduli pada orang yang akan menjadi pendamping hidup orang lain kelak. Hahaha. Tidak mengapa. Aku bangga jika suatu hari, mungkin saja aku adalah satu dari penyebab kesuksesannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Girls' Diary
RomanceBumi tak hanya seluas taplak meja. Jika kau bisa terbang dan melihat melalui jendela-jendela rumah, kau akan melihat cerita-cerita yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh penulis manapun. Tapi disini, aku ingin membicarakan sesuatu yang manis. Cint...