Episode 7
__________
"Kau boleh mendorongku sekuat apapun yang kau bisa. Namun aku akan bertahan. Meski harus memaksa. Aku akan membuatmu mencintaiku juga."
___________Shalsa yang malam itu ingin membeli makan diluar memberanikan diri untuk keluar meski hari sudah hampir tengah malam.
"Aku benar-benar bosan dengan makanan dirumah. Lady Rose selalu memasak menu yang itu-itu saja dan parahnya tuan Ali dan Syifa tidak pernah protes soal makanan," gerutu Shalsa sambil berjalan.
Keadaan diwilayah yang ia lalui sekarang sangat sepi, tidak ada orang yang berani lalu lalang lagi begitu hari menginjak tengah malam semenjak terjadi teror. Hal itu tidak berlaku bagi Shalsa. Ia yang sudah mendapatkan pelatihan untuk menjadi pengawal yakin bisa mengatasi pembunuh itu. Jadi apa yang harus ditakutkan?
Sreg! Seseorang bertopeng dengan tiba-tiba muncul dari belakang dengan pisaunya. Begitu tiba-tiba namun Shalsa berhasil mengelak meski lengannya tergores.
"Aw..." Shalsa meringis sambil memegang lengannya yang kini mengeluarkan darah segar.
Pembunuh itu rupanya tak gentar meski tusukan pertamanya gagal. Ia menyemprotkan sesuatu kearah Shalsa yang sama sekali tidak menyangka kalau lawannya mempunyai senjata lain.
Brug! Tubuh Shalsa ambruk ditanah. Pembunuh itu mendekat, menjambak rambut Shalsa dan menyeretnya. Lengan Shalsa yang terluka membuat jalan berbekas noda darah sepanjang pembunuh berdarah dingin itu menyeretnya.
"Hei!" Maxime yang melihat semua itu tanpa sadar berteriak tentu saja membuat orang bertopeng itu melarikan diri.
Sempat terjadi kejar-kejaran diantara mereka namun akhirnya Maxime kehilangan jejak.
"Sial!" Maxime mengumpat.
***"Udara pagi memang segar," ucap Angga begitu keluar dari rumah. Ia berniat untuk pergi berolahraga tapi begitu melihat mobil polisi terparkir didepan halaman rumah Syifa, Ia langsung membatalkan niatnya dan bergegas kesana.
Tok..tok ! Angga mengetuk pintu rumah Syifa dan ternyata yang keluar malah kakaknya."Hallo kakak! Apa terjadi sesuatu?"
Dahi Ali langsung berkerut. "Kakak? Sejak kapan kita jadi saudara heh."
"Memang apa salahnya aku memanggilmu kakak. Bukannya kau lebih tua dariku. Bahkan mungkin dimasa depan kita akan jadi saudara," jawab Angga santai. "Oh ya, siapa polisi yang ada didalam apa itu Maxime?"
"Ya. Dia sedang menyelidiki kasus teror yang terjadi belakangan ini. Pengawal kami kemaren malam hampir menjadi korban pembunuhan."
Sudah Angga duga Maxime ada didalam. Kalau begitu dia harus masuk kesana. Maxime mungkin saja cari-cari kesempatan untuk melirik Syifa. Dia tidak boleh membiarkan itu terjadi.
"Eits! Siapa yang mempersilahkanmu masuk." Ali mendorong tubuh Angga yang mencoba menerobos masuk.
Sial! Angga harus mencari cara untuk masuk. "Aku ingin melihat sehebat apa dia saat menjalankan tugas sebagai polisi soalnya Prilly bilang Maxime itu keren."
"Prilly bilang begitu? Menurutnya Maxime itu keren? Huh keren darimananya."
"Aku juga berpikir Maxime tidak sekeren yang Prilly pikir. Makanya aku kesini untuk melihatnya secara lebih dekat."
"Baiklah kau boleh masuk. Lihat dia baik-baik dan katakan pada Prilly kalau dia salah menilai Maxime."
Binggo! Ternyata menjadikan Prilly sebagai umpan berhasil. Angga tertawa dalam hati.
Diruang tamu, terlihat Maxime sedang mengajukan beberapa pertanyaan pada Shalsa.
"Apa kau sempat melihat wajah pelakunya?" tanya Maxime.
Shalsa menggeleng lemah. "Dia memakai topeng."
Semua orang didalam ruangan sedikit kecewa.
"Baiklah pak polisi, aku harus berangkat kuliah dulu. Jika kau sudah selesai mengajukan pertanyaan cepat pergi dari sini dan seret dia juga." Tunjuk Ali pada Angga.
"Seret? Beraninya dia. Kalau saja bukan kakaknya Syifa sudah ku timpuk pakai sepatu," gerutu Angga setelah Ali pergi dari sana.
Maxime mengulum tawa mendengar makian Angga.
"Meski aku tidak bisa melihat wajahnya tapi entah mengapa aku merasa kalau aku mengenal pembunuh it..."
Ucapan Shalsa terhenti saat tiba-tiba terdengar suara sesuatu pecah di dapur. Angga dan Maxime langsung berlari ke dapur.
"Ah, rupanya ada peri cantik. Apa yang terjadi? Kau baik-baik sajakan?" tanya Maxime saat melihat Syifa berdiri tak jauh dari pecahan gelas.
"Tadi aku terlalu fokus pada layar HP jadi minumannya tumpah," jawab Syifa agak gugup.
Mendengar kata HP kedua pria yang ada di dapur langsung bertatap-tatapan tajam.
"Peri cantik kurasa kau ketakutan setelah pengawalmu sendiri bahkan menjadi korban. Jika kau membutuhkan bantuanku kau bisa menelponku."
"Aku tidak membagi nomorku pada orang asing dan aku sama sekali tidak ketakutan." Syifa menyahut Maxime agak ketus.
Lampu dikepala Angga menyala. Dia punya ide yang lebih bagus untuk mendapatkan nomor ponsel Syifa. "Astaga! Dimana HP ku?" Angga pura-pura panik. "Apa terjatuh dijalan atau aku lupa menaruhnya disekitar rumah ini ya? Apa kau bisa pinjamkan HP-mu untuk me-Miss Call ke HP-ku?" Angga dengan cepat merebut HP dari tangan Syifa. Wanita cantik itu agak keberatan tapi ia tidak punya pilihan lain.
Truttt!!! Terdengar suara dering HP dari saku celana Angga.
"Astaga! Ternyata ada disaku celana." Angga menepuk jidatnya.
Mata Maxime menyipit. "Apa kau memang benar-benar tidak sadar kalau HP mu dari tadi disaku celana? Atau..."
"Jadi ini nomor Syifa." Angga melihat panggilan dilayar HP-nya."Baiklah akan aku simpan sekalian."
Demi bumi dan langit. Bisa-bisanya Angga memakai trik selicik itu. Rasanya Maxime ingin mengambil pistol yang berada dipinggangnya dan menembakkannya ke Angga. Oke lupakan ide gila itu, dia seorang polisi.
____________
Siapa pelakunya? Pembunuh itu salah satu dari tokoh yang diceritain disini kok. Hayoo tebak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistery
Mystery / ThrillerLiburan Angga di paris yang seharusnya menyenangkan malah terganggu dengan adanya teror di sekitar wilayah tempat ia menginap. Disamping itu Angga juga penasaran dengan seorang wanita cantik bernama Syifa yang jarang keluar rumah dan tidak pernah b...