Mistery ~ Darah

1.9K 201 31
                                    

Episode 11
_________

"Katakan padaku dengan bibirmu. Aku ingin mendengarnya. Aku ingin tahu."
________

Sejak ditolak. Prilly berusaha menghindari Maxime. Seperti hari ini dia tidak sengaja harus berpapasan dengan polisi itu. Dengan menunduk ia berjalan melewati Maxime. Prilly berharap pria itu tak melihat keberadaan nya.

Tapi sayangnya...

"Prill."

Suara itu. Ah! Maxime melihatnya. "Apa aku sebaiknya pura-pura tidak mendengar ya?" batin Prilly. Ia makin mempercepat langkahnya dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Seakan-akan dengan begitu Maxime tak bisa mengenalinya lagi.

Sreg! Maxime menangkap tangan Prilly saat wanita itu berjalan tepat didekatnya. Entah perasaannya saja atau memang Prilly sengaja menghindarinya?

Tak ada kata yang terucap dari mulut Prilly. Tapi matanya jelas mengisyaratkan protes karena Maxime menahan tangannya.

"Aku tersinggung. Kau melewatiku begitu saja tanpa menyapa."

Prilly menahan nafasnya. Suaranya tertahan ditenggorokan. Apa yang harus dia katakan? Apa dia harus jujur kalau dia tidak siap untuk bertemu pria itu sekarang? Apa dia harus jujur kalau ia saat ini tengah berusaha melupakan. Apa dia harus jujur juga kalau melihat Maxime sekarang membuatnya sakit hati?

"Aku hanya kelelahan seusai belanja."

"Kau yakin?"

"Ya. Udara cukup panas. Aku ingin segera beristirahat dirumah, jadi..." Prilly melihat kearah tangannya yang masih dipegang Maxime. "Bisa kau lepaskan."

"Aku tidak akan melepaskannya sampai kau menceritakan apa yang salah disini."

Ya Tuhan. Kenapa Maxime begitu tidak peka? Apa Maxime tak paham kalau Prilly menjauhi pria itu karena merasa patah hati sehabis ditolak? Apa pria itu pikir semuanya bisa baik-baik saja. Mata Prilly mulai panas, rasanya ia hampir menangis sekarang.

"Lepaskan tangannya," bentak Ali yang kebetulan lewat dan mendengar percakapan Prilly dan Maxime. Dia bahkan memisahkan tangan Prilly dari genggaman Maxime. Ali sangat paham dengan apa yang dirasakan Prilly sekarang. Dengan matanya, ia memberi isyarat pada Prilly agar segera pergi dari sana.

Prilly menurut dan segera pergi dari sana. Ia sangat bersyukur Ali datang disaat yang tepat. Ia tak mau menangis dihadapan Maxime lagi. Itu pasti sangat memalukan. Kesannya seperti terlalu mengharapkan cinta Maxime padahal pria itu sudah meminta Prilly untuk bersikap seperti biasakan?

Setelah yakin Prilly benar-benar tak  terlihat lagi. Ali mencekram seragam Maxime. "Jauhi Prilly!" ujar Ali dengan nada mengancam.

"Tapi kenapa? Kami berteman."

"Kau sudah tahukan Prilly mempunyai perasaan padamu lebih dari sekedar teman. Jika kau tak berniat membalas perasaannya jangan lagi mendekatinya apalagi bersikap manis padanya."

Dahi Maxime berkerut. "Kami sudah sepakat menganggap semuanya baik-baik saja dan menjalani pertemanan seperti biasa jad..."

Bug! Ali meninju wajah Maxime hingga bibir polisi itu berdarah.

"Ada apa?" Maxime meminta penjelasan atas tinju yang baru saja mendarat diwajahnya.

"Apa kau bodoh! Dengan mudahnya kau bicara soal melupakan semua yang sudah terjadi dan menganggap semuanya bisa baik-baik saja.  Disaat dia ingin melupakanmu kau malah terus bersikap ramah dan manis padanya. Jika terus seperti itu, lalu bagaimana dia bisa melupakanmu? dasar tukang PHP!"

Maxime tercengang. Ia tak berpikir sampai sejauh itu. Ia pikir Prilly sudah baik-baik saja. Dan mereka bisa berteman seperti sedia kala. "Baiklah aku tidak akan memaksa lagi. Aku akan menunggu sampai Prilly siap berbicara dengan ku lagi."

"Terimakasih atas pengertianmu. Tapi akan lebih bagus jika kau menjauh selamanya. Karena aku yang akan memberikan lem pada retakan hatinya."

Kedua bola mata Ali dan Maxime bertemu. Mereka saling menatap tajam seakan ada aliran sengatan listrik diantara tatapan keduanya.
***

Angin malam berderu kencang. Lampu-lampu memancarkan sinarnya dari bangunan-bangunan yang berdiri kokoh. Cahaya bulan juga tak kalah menyemarakkan  indahnya kota Paris dimalam hari.

Angga menarik nafasnya dalam-dalam. Dia sedang terpuruk sekarang. Setelah pengakuan cintanya, Syifa tak lagi terlihat keluar rumah dan tidak mau membalas SMS nya. Apa pengakuan cintanya waktu itu terlalu cepat?

Dengan telinga yang tertutup earphone Angga berjalan-jalan tanpa tujuan disekitar wilayah tempat ia menginap.

Wus! Mobil Ambulance melaju kencang disamping Angga. Nyaris saja dia tertabrak. Gara-gara telinganya tersumpal alunan musik ia jadi tidak mendengar suara keras mobil Ambulance.

"Apa ada korban lagi?" batin Angga. Karena penasaran dia berupaya mengejar mobil Ambulance.

Bruk! Angga menabrak seseorang. "Maaf aku ter..." ucapannya terpotong saat menyadari siapa yang ia tabrak. Orang itu adalah Syifa!

Mereka berdua canggung. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Bibir mereka terasa kelu. Entah kenapa.

Akhirnya Angga memberanikan diri untuk bicara. Mereka tidak mungkin terus diam bertatap-tatapan tanpa suarakan? "Apa yang kau lakukan ditengah malam begini?"ucapnya memecah keheningan.

Syifa diam tak bereaksi apapun.

"Aku perhatikan kau sering keluar tengah malam. Sebenarnya apa yang kau lakukan?"

Tanpa disangka-sangka tangis Syifa pecah. Membuat Angga kebingungan. "Hei ada apa?"

Wanita cantik itu hanya menggeleng. Tapi air matanya semakin deras mengalir membuat Angga semakin khawatir.

Perlahan tangan Angga meraih tubuh Syifa kedalam pelukannya. "Sudah jangan menangis."

Dalam pikiran sadarnya Syifa ingin menepis tangan Angga. Ia tak ingin memberikan harapan lagi pada Angga. Namun sayangnya alam bawah sadarnya terus berontak untuk melakukan hal sebaliknya. Hingga akhirnya Syifa malah perlahan mengangkat tangannya. Membalas pelukan Angga dengan tangan bergetar.

Pelukan yang terasa menentramkan batin Angga. Ia kian yakin bahwa Syifa mempunyai perasaan yang sama dengannya. Ia mulai berani mengusap lembut helaian rambut panjang Syifa.

Namun usapannya berhenti ketika ia merasakan ada sesuatu dirambut wanita itu.

"A...apa..ini?" Angga meneliti telapak tangannya yang baru saja dipakai mengusap rambut Syifa. "Da..darah," pekiknya terkejut melihat ada noda merah ditelapak tangannya.

Yang ditanya hanya terdiam. Untuk sejenak matanya yang kelam mengedip. Ia harus menjawab apa? Pria yang ada dihapannya sekarang tak akan berhenti menanyakan hal ini sebelum ia memberikan jawaban.

"Kau harus menjelaskan padaku tentang darah ini. Apa yang terjadi? Ditengah malam seperti ini. Apa kau..."

Tak ada suara lagi dari keduanya hanya terdengar suara deru angin. Mereka saling bertatapan. Tatapan sedih penuh dengan pikiran yang berkecamuk dibenak masing-masing.

_________

Maaf ya upadatenya lama. Author sibuk melatih dedek-dedek di Sekolah Dasar buat baca puisi dan paduan suara 😅 jadinya pikiran dan waktu terkuras kesana.
Semoga aja episode ini tetap dapat feel-nya ya 😭 soalnya bikinnya dalam keadaan lelah dan kurang fokus...oh ya jangan lupa baca karya author '100 Years Later' ya

Kira-kira apa jawaban Syifa ya? Yuk berikan analisis kalian !!!

MisteryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang