BDP-12

6.1K 601 27
                                    

"Lo yakin ngga mau kasih tau Ali?" Genta menatap Prilly yang sedaritadi menatap tiket pesawat yang ada di genggamannya.

"Yakin. Buat apa? Dia juga ngga peduli sama gue..." Prilly membalas lirih. Ada rasa ķecewa saat sampai di rumah tak ada Ali seperti yang di harapkan akan menjelaskan semuanya. Bahkan sampai saat ini Ali tak juga menelfon atau mengirim pesan.

Prilly tau akhir-akhir ini ia sangat egois, tapi bisakah Ali tak membalasnya dengan kebohongan? Jika alasan Ali berbohong karena Prilly lebih memilih Genta, itu sangat tak adil. Saat WhatsApp-an dengan Kiara padahal Prilly selalu ada untuknya tapi tetap saja Ali berbohong. Hanya akhir-akhir ini saja Prilly lebih mengutamakan Genta karena ia merasa sangat tak enak pada pria itu jika harus menjaga jarak. Selama ia terpuruk Genta selalu di sampingnya, jadi sangat tak etis jika Prilly menjauhi Genta karena sudah ada Ali. Akhir-akhir ini juga Prilly menolak jika Ali mengajaknya ke rumah saudara atau papanya yang mengajak dinner. Bukan karena tak menganggapnya dan lebih mengutamakan Genta tapi karena ada satu hal yang tak bisa Prilly jelaskan pada Ali untuk saat ini.

"Nanti kalau dia tanya, gue jawab apa?" Genta bertanya lagi.

"Bilang aja gue ada urusan."

"Lo fikir dia bego?"

"Gue yakin lo cukup pintar buat cari alasan." Prilly mengambil rokok Genta kemudian menyalakan dan menghisapnya.

"Ngerokok lagi?" tanya Genta mencoba mengambil rokok yang berada di sela-sela jari Prilly. Namun pria itu kalah cepat dari gerakan Prilly yang menghindar.

"Cuma iseng."

Prilly melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri nya. Membuang rokok di samping kakinya kemudian menginjaknya sampai mati.

"I will miss you Gen..." Prilly berdiri kemudian memeluk erat tubuh Genta. Genta pun membalasnya tak kalah erat, tangannya mengusap punggung Prilly.

"I will miss you too princess..." balas Genta. Prilly melepaskan pelukannya kemudian melambaikan tangan pada Genta. Melangkah sambil menyeret kopernya. Sedetik kemudian ia kembali menoleh dan tersenyum pada pria yang masih setia menatapnya.

Pagi tadi mamanya menelfon dan mengabari jika papanya sakit, jadi hari ini Prilly memutuskan untuk menemui orang tuanya. Niatnya ingin mengabari Ali tapi ternyata Alinya juga tak peduli karena tak menemuinya untuk menjelaskan atau sekedar memberi kabar.

***

"Pria sejati itu yang di pegang ucapan nya. Kalau sekali melakukan kesalahan itu wajar, tapi kalau berulang kali melakukan kesalahan yang sama berarti keterlaluan..."

"Jangan terus mengandalkan di maafkan, karena kalau suatu saat dia lelah, dia ngga akan bicara lagi tapi langsung menyerah..."

"Jangan kayak papa Li, menyesal setelah kehilangan. Itu ngga akan bisa mengembalikan."

Ucapan papanya saat Ali melakukan kesalahan yang sama beberapa bulan lalu terngiang di telinganya. Dan kini ia mengulangi lagi. Mungkin benar yang papanya katakan bahwa jika sudah lelah maka langsung menyerah. Mungkin kah Prilly menyerah dan... akan meninggalkannya? Ali menggeleng kencang, ia tak mau kehilangan Prilly.

Setelah malam itu gagal mengejar Prilly karena ban motornya pecah, tadinya Ali berniat kemarin pagi datang ke rumah Prilly tapi ternyata sampai di rumahnya papanya sudah tergeletak di lantai. Dengan panik Ali langsung membawanya ke rumah sakit dan sedikit bernafas lega saat dokter mengatakan bahwa papanya hanya kelelahan.

Baru hari ini Ali datang ke rumah Prilly, karena kemarin ia tak tega jika harus meninggalkan papanya.

"Pak, Prillynya ada?" Ali bertanya pada pak Ujang yang baru beberapa bulan ini bekerja sebagai keamanan di rumah Prilly. Pak Ujang juga suami dari bik Imah, orang yang membantu mengurus rumah Prilly.

Bangkit Dan Percaya (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang