BDP-16

6.1K 606 20
                                    

Mata hazel yang sangat indah itu terus menatap nanar pria yang kini terbaring lemah di ranjangnya. Air mata terus mengalir membasahi pipinya meski sudah beberapa kali ia seka. Seminggu tak bertemu dengan Genta membuat Prilly merasa khawatir. Terakhir bertemu, di resepsi Aldo dan Niken, pria itu terlihat sangat berbeda dari biasanya.

Setiap hari Prilly menghubungi Genta tapi selalu tak ada jawaban. Menelfon mamanya, jawabannya meragukan seperti ada yang di tutupi. Dan hari ini ia memutuskan untuk langsung ke rumahnya setelah meminta izin pada Ali yang tak bisa ikut karena ada janji dengan papanya.

"Genta mengidap penyakit Leukimia..."

Ucapan bu Rahma yang sangat lirih itu menyambut Prilly yang baru saja sampai di rumah Genta. Prilly menggeleng tak percaya. Selama ini Genta tak pernah mengeluh padanya, termasuk tentang penyakitnya yang bisa di bilang sangat berbahaya. Ya Allah, Prilly merasa tak berguna sebagai sahabat. Selalu mengeluh pada pria itu, tapi yang menjadi tempat keluh kesahnya malah menyimpan bebannya sendiri.

"Kenapa nangis?"

Prilly tersentak dari lamunannya saat mendengar suara serak khas bangun tidur. Dia menoleh dan langsung melihat Genta yang sudah membuka mata.

"Kenapa ngga bilang sama gue? Lo anggap gue ini apa sih?" Prilly langsung bertanya pada Genta, isakannya semakin kencang saat melihat wajah Genta yang jauh dari kata baik.

"Bilang apa?" Genta berusaha bangun di bantu Prilly kemudian menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang.

"Penyakit lo!"

"Memang lo dokter?" Genta terkekeh saat melihat gadis itu mendelik.

"Jadi lo ngga pernah anggap gue ada?" Prilly bertanya lirih, mata sendunya menatap mata Genta yang terlihat sayu.

"Eh, siapa yang bilang begitu?" Genta terkejut, tangannya terangkat untuk menyeka air mata Prilly yang semakin membasahi pipinya.

"Ada saatnya lo tau, bukan sekarang. Gue cuma ngga mau bikin lo sedih, itu aja..." Lanjutnya.

"Apa bedanya sekarang atau nanti? Toh sama aja, sama-sama bikin sedih."

"Seenggaknya kalau lo taunya saat gue udah ngga ada, gue ngga lihat air mata lo jatuh karena gue."

"Jangan ngomong begitu!"

"Kenapa? Kan lo yang bilang kalau semua pasti bakal mati."

"Iya, tapi ngga ada yang tau kapan. Bisa jadi lo yang sakit malah gue duluan yang mati!" Sahut Prilly.

"Husss, belum cukup amal, jangan ngomong mati-mati dulu. Ngeriii...!" Genta bergedik takut. Takut saat di panggil, belum ada tabungan untuk di akhirat sementara kematian tak menunggu kita siap.

Selama ini hidupnya jauh sekali dari Agama. Selalu berfoya-foya tanpa mempedulikan dosa. Ibadah bolong-bolong padahal tau api neraka-lah akibatnya. Di ingatkan bilangnya nanti-nanti padahal tak tau kapan maut akan menghampiri. Lima menit ke depan tak ada yang tau apa yang akan terjadi tapi mudah sekali bilang nanti seakan usianya akan panjang. Tak ada yang menjamin ke depannya. Siap tidak siap, kalau sudah waktunya mau bagaimana? Menyesal? Ya menyesal, kenapa selama hidup hanya memikirkan dunia dan mengabaikan kehidupan yang abadi, yaitu akhirat.

"Astaghfirullah..." Genta beristighfar dalam hati. Kenapa di beri penyakit baru mengingat dosa? Inikah jalannya agar menuju jalan yang lurus?

"Istirahat ya, lo pasti sembuh." Prilly tersenyum hangat pada Genta. Pria yang selalu menjaganya, pria yang setia mendengar keluh kesahnya dan juga pria yang masuk dalam daftar terpenting di hidupnya.

***

"Dia cinta sama kamu, sebelum kamu mengenal Ricko..."

Ucapan bu Rahma sebelum ia pamit pulang tadi terus terngiang di telinganya. Hatinya mencelos, merasa dirinya paling bodoh dan paling jahat. Selama ini Genta memendam rasa untuknya dan bodohnya ia tak menyadari. Sejauh ini Genta menahan sakit hati saat melihatnya dengan yang lain.

Bangkit Dan Percaya (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang