oleh: Aradea Rofixs
Malam begitu gelap, pekat. Agaknya bulan terhalang awan. Togog duduk sendirian di ubin depan Padepokan, memandang jauh ke angkasa malam yang seolah mewarnai pelataran menjadi gulita.
Betapa dalam pekatnya malam justru ingatan Togog terbuka, terasa terang benderang, ia seperti dituntun oleh sesuatu daya untuk berlayar ke masa lalu, masa itu, masa suka duka ketika ia bersama adiknya mBilung mengabdikan diri di Alengka. Pada Raja Rahwana.Walau pun masa itu telah lama berlalu, sudah dua puluh tahun lebih lamanya, tepatnya semenjak Alengka runtuh oleh perang besar melawan pasukan Ramawijaya. Dan yang lebih tak terasa bagi Togog adalah, 'ternyata selama itu pula dirinya dan adiknya telah menetap di pertapaan Giri Pratala mengabdi kepada Resi Sapta raga'.
Togog dan mBilung oleh sang resi telah di anggap sebagai keluarga. Sebagai anggota keluarga padepokan Giri pratala. Itu karena dulu sebelum mereka berdua merantau ke Alengka, mereka pernah menjadi cantrik di padepokan tersebut.
Angin berdesir pelan. Mendorong awan hitam, dan rembulan perlahan menampakkan diri. Rembulan nan elok. Seperti gadis kecil yang malu-malu mengintip, lalu tersenyum simpul, seperti merasa di perhatikan oleh Togog dari kejauhan. Lalu dengan desah nafas pelan Togog menutup pintu ingatannya sambil bibirnya mengembang, tersenyum kecil. Senyum yang pahit. Dan digeleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba, "Togog," tegur seseorang sambil menepuk pundaknya. Tentu saja Togog terkejut bukan main. Dan alangkah tetkesiapnya Togog, ketika tahu yang menyapa ternyata sang Resi. "Sepertinya ada sesuatu yang sedang mengganjal dipikiranmu saat ini, bolehkah aku tahu, masalah apakah itu?"
"Hemm... Sang Resi." gumam Togog lirih seperti hendak menyembunyikan apa yang ada difikirkannya.
"Ah... Kau tak perlu menutupi gemuruh hatimu di hadapanku, Togog."
"Ya.... ya, kepada siapa saja mungkin hamba dapat bersembunyi. Dapat menyembunyikan perasaan maksud hamba. Dan menutupi apa saja yang hamba rasakan. Tetapi rasanya memang sulit sekali untuk menyembunyikan semua itu di hadapan Sang Resi." Kata Togog, yang agaknya merasa canggung "Apakah karena raut wajah hamba, atau apanya, yang membuat sang Resi tahu tentang suasana hati hamba...?"
"Kita ini sudah sama-sama tua, Togog,"
"Iya. Maksud sang Resi?"
"Untuk apa kau sembunyikan semua luka, semua rahasia, semua masalah, jika semua pengalamanmu itu akan terasa lega bila kau ceritakan." Kata sang resi, "'Pengalaman adalah guru' maka sesungguhnyalah — bukan hanya guru untukmu saja, pengalamanmu juga bisa menjadi guru buat yang lain — artinya, jika kau ceritakan kepadaku, barangkali akan sangat bermanfaat untuk pelajaran bagi murid-murid yang lain. Bisa jadi, kisah panjangmu pun jadi tolak ukur bagi kaula muda yang sedang rindu dengan segala ilmu kepandaian."
"Apa sang Resi lupa dengan setatus hamba?" Sambut Togog. "Hamba ini hanya seorang cantrik, sang Resi. Sedang murid sang resi rata-rata orang terhormat, Nayaka praja dan juga para calon nalendra..."
"Ya, tapi apa salahnya," kata Sang Resi lebih lanjut. "Memang kau seorang cantrik tapi kau lebih kaya pengalaman dibanding dariku yang hanya melewatkan hari-harinya di tempat ini saja."
"Kaya.... Kaya apanya? Hamba ini kere, kiyai."
"Pengalaman itu lebih berharga nilainya jika dibanding harta benda. Kisah perjalanan masa hidupmu itu adalah harta yang tak terbeli dengan uang. Mari ceritakanlah padaku, Togog. Lagi pula kekayaan apa pun bentuknya yang ada di dunia ini hanya akan berguna untuk dunia saja, untuk hidup. Tidak berguna kau bawa mati. Harta serta kekayaan hanya berfungsi selagi orang itu hidup dan untuk mereka yang hidup pula. Sebab mati tidak membutuhkan semua itu....?" Kata sang resi. "Apa mungkin kau keberatan jika hal ini yang meminta diriku...?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RahwanaYana
Historical Fiction"Tidak Rahwana, sadarilah olehmu; bahwa semua yang bernyawa itu pasti akan di tinggalkan oleh nyawanya, dan itulah yang dinamakan badai kematian, tak ada kiranya seorangpun yang dapat luput dari kejaran badai kematian, anakku."