7. Bertarung melawan Harjunawijaya

600 14 0
                                    

     Pagi yang semula hening tiba-tiba saja berubah menjadi suara riuh redam oleh derap suara langkah kaki dari sekian ribu bala pasukan yang dipimpin langsung oleh raja Maeswapati, Harjunawijaya yang kini telah sampai ke perbatasan negri Alengka.

      Tidak seperti ketika di pimpin patih suwanda jumlah pasukan Harjunawijaya kali ini sepuluh kali lipat lebih banyak, bahkan lengkap dengan pasukan gajah serta pasukan berkuda. Sangat mengerikan, bahkan tiga kali lipat lebih mengerikan dari serangan air bah dari sungai Yamuna yang patih Suwanda buat, kemarin.

     Mereka terus menerjang bahkan tak memperdulikan walau ketika menjelang siang udara berubah menjadi sangat panas, Harjunawijaya memerintahkan agar iring-iringan pasukan Maeswapati tetap terus merangsak maju. Tak perduli bahkan ketika mereka masuk ke perkampungan semua bangunan rumah-rumah penduduk sepanjang jalan yang mereka lewati ikut terinjak injak oleh gajah-gajah perang yang mereka kendarai. Alhasil penduduk pun pontang pantangan lari untuk menyelamatkan diri.

     Sesungguhnya segenap warga Alengka, termasuk Rahwana sudah menerka jika peristiwa tersebut pasti terjadi, perang kedua negara bertetangga tersebut tidak dapat di elakkan lagi. Namun tak ada yang menyangka jika agresi yang Harjunawijaya lancarkan tersebut akan datang secepat itu, yakni hanya berselang lima hari dari peristiwa kemarin. Dan orang yang merasa paling bertanggung jawab atas huru hara itu adalah Rahwana, karena dialah yang telah membunuh patih Suwanda. Pagi itu Rahwana tengah bersama ketiga adiknya di pasewakan agung Alengkadiraja, saat mendengar arak-arakan pasukan Maeswapati masuk ke kawasan teritorial Alengka dari prajurit yang di siagakan di perbatasan.

"Ampun paduka, kami pasukan penjaga perbatasan melaporkan,"

"Ya, ada apa, prajurit?" Tanya Rahwana.

"Benar-benar bahaya besar wahai rajaku Rahwana."

"Bahaya besar?"

"Benar Baginda, iring-iringan pasukan Maeswapati menyerang. Mereka dipimpin langsung oleh prabu Harjunawijaya."

      Kali ini meskipun kepalanya seperti menyala di bakar amarah Rahwana benar-benar dipaksa untuk mengambil satu keputusan. Keputusan yang menentukan, sebab Prabu Danaraja serta Begawan Wisrawa meskipun mereka masih hidup mereka tak mungkin lagi dapat menolong, karena mereka kini sudah tak memikirkan hal-hal mengenai hiruk-pikuk duniawi, diam di puncak gunung Giri jambangan untuk menyepi, mengasingkan diri, menjadi seorang pertapa.

"Bagaimana adikku, Wibi, dan Sarpa?"

"Ampun Raka, segala keputusan ada di tangan Raka. Raka prabu-lah yang harus menentukan. sedang hamba... Hamba hanya akan selalu siap membantu apapun yang paduka putuskan." Kata Wibisana.

Sejenak Rahwana seperti mengerutkan dahi, berfikir, namun Wibisana kembali berkata.
"Ya memang begitulah seorang raja, Raka Prabu janganlah ragu ketika harus mengambil keputusan, ambilah keputusan yang menurut Raka tepat."

"Namun menurutku, demi kehormatan Alengka, kita tidak boleh hanya tinggal diam saja apa lagi lari mengungsi itu memalukan, kita harus menyiapkan perlawanan, Raka." Tambah Sarpakenaka.

"Baiklah, wibisana kau panggil kakakmu kumba, kita siapkan pasukan seadanya kita berangkat perang.!!!" Kata Rahwana lantang. "Bukankah begitu Paman prahasta?"

"Tapi pasukan kita sangat sedikit, rajaku Rahwana." Jawab Prahasta.

"Janganlah paman melemahkan mental bertarung para prajurit sendiri, tinggal paman laksanakan saja apa yang aku perintahkan...!!"

"Baiklah jika memang harus begitu. Hanya pintaku janganlah sampai Nanda hilang semangat. Kami segenap prajurit Alengka telah siap mengemban amanat baginda, sekalipun kami harus mati untuk perang!!"

RahwanaYanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang