Terimakasih ..Enha senang banget karena readersnya sudah sampai 100. Alhamdulillah. Terimakasih yang sampai sekarang masih setia baca, vote, voment.. ku terharu. Hiks..
☼☼☼☼
Kamar ini tidak sesempit yang ku bayangkan. Walaupun depan rumah tampak kecil dan terkesan sempit, ternyata di dalam kamar ada fasilitas yang cukup lengkap, seperti tempat tidur yang muat untuk tiga orang (ya jelas dong Enha gimana sih), sebuah meja kecil, sebuah kursi kayu, lemari pakaian yang kira – kira tingginya 170 dengan panjang 80 cm, cermin yang berukuran 60x25 cm tergantung di atas meja kecil, TV LED 21 inch yang tertempel di dinding menghadap tempat tidur, dan yang paling utama adalah kamar mandi dalam. Kalau untuk sehari semalem tidur di kamar ini kenapa enggak kan? Apalagi sewa kamarnya dibagi tiga..gibas aja langsung.
Madi dan Ria langsung merebahkan dirinya ke tempat tidur setelah mereka termasuk aku, masuk kamar dan meletakkan tas di sebelah meja kecil. Aku tak mungkin menambahkan berat bebanku, maksudku tubuhku ke kasur tersebut. Tidak ada tempat. Mereka memenuhi tempat tidur dengan tangan mereka yang terlentang.
"Enha, tadi kamu kenal sama Arsal kan?" Ria masih dalam posisi merebahkan badannya sambil memandang langit kamar yang berwarna biru laut. Aku rasa aku belum siap menceritakannya, sehingga aku memutuskan untuk keluar dari kamar mencoba menghirup udara segar di luar.
"Iya. Eh, aku keluar bentar ya. Mau foto pemandangan di sini. Keren sih. Takutnya ngiler pas pulangnya." Aku meringis pada sahabatku.
"Sekarang? Ah aku capek, Ria gimana?" Tanya Madi pada Ria.
"Aku sendiri bisa kok. Kalian kalo mau leha – leha di kasur juga gak apa - apa. Aku rapopo." Ya..aku sudah terbiasa sendiri, dan aku juga sedang ingin sendiri.
"Yakin? Gak takut salah jalan?" Tanya Ria padaku dengan tatapannya yang sedikit mengejek. Ya..aku memang terkenal tukang salah jalan, tak terkecuali tersesat di jalanan desaku.
"Iiiih... inget aja keles. Tinggal lurus aja kan kalo balik ke pintu keluar Candi?" Aku menjawab dengan yakin.
"Yakin? Emang tadi gak merhatiin kalo ada pertigaan?" Madi mencoba mengurungkan niatku untuk pergi sendiri dengan pertanyaannya itu.
"Bodo amat. Tau ah. Bye!" Aku tidak mau mendengar pertanyaan ataupun nasihat mereka. Untuk saat ini aku ingin menghindar dari pertanyaan yang berbau "Arsal". Aku langsung bersiap untuk pergi dengan membawa kamera kesayanganku, Lulu.
"Jangan lama – lama loh. Nanti bikin repot kita. Repot harus nyalain flare dari sini kalo kamu tersesat." Madi mencoba mengejekku. Mereka kini tertawa menatapku.
"Mingkem lu ah. Lalet masuk koid dah tuh lalet." Aku mengerucutkan bibirku pada mereka sambil menghentakkan kaki kananku.
☼☼☼☼
Aku sudah berjalan meninggalkan homestay. Sesekali aku berhenti untuk memotret pemandangan sayur – mayur yang ada di sebelah kanan jalan. Aku tidak tahu mengapa banyak sayuran hanya didiamkan saja hingga membusuk di pinggir sawah. Apakah karena rusak atau gagal panen? Entahlah.
Pikiranku kembali dengan kenanganku bersama Arsal. Mungkin ini terdengar sedikit lebay, tapi kami pernah berangan – angan bahwa suatu hari nanti kami akan pergi travelling bersama keliling Indonesia. Tapi angan – angan itu telah terkubur hampir satu tahun ini.
Ah..aku jadi teringat dengan sepatu yang aku kugunakan. Sepatu running Diadora dengan warna abu – abu. Hadiah ulang tahunku dari Arsal. Kami sepakat untuk tidak mengembalikan barang – barang yang sudah kami berikan, karena itu merupakan pemberian bukan pinjaman yang jika "sudah selesai" harus dikembalikan.
Sudah hampir lima menit aku berjalan dan aku tidak melihat satu orangpun disini. Aku juga tidak kunjung sampai di pintu keluar kompleks Candi.
"Awww..." Aku mengaduh kesakitan. Aku merasa kedua kakiku lecet, atau disebut blister karena gesekan sepatu pada kulit kaki bagian belakang. Aku berhenti dan melihat kaki kananku dan kaki kiriku. Sudah kuduga. Sialnya aku lupa membawa sling bag kamera yang sudah kutaruh plester di dalamnya. Damn it! Aku langsung melepaskan sepatu dan duduk di pinggir jalan memandangi persawahan.
"Hei!" Seseorang menepuk bahuku lembut.
"Setan!" Aku terkejut dan dengan refleks mengucap kata itu. Aku lalu menengadah mencari sumber suara.
"Dirga! Ngagetin aja tau!" Aku menepuk kakinya kesal. Dia sudah berdiri di sampingku. Entah kapan dia ada disini.
"Kamu ngikutin aku?" Tanyaku padanya penasaran. Dirga masih berdiri di sampingku.
"Enggak." Jawab dia singkat. Mungkin kebiasaannya kalo jawab pertanyaan kudu irit. Dirga kemudian duduk di sampingku. Kami hanya memandangi persawahan yang ada di depan kami saat ini. Entahlah..mungkin karena kami sama – sama menyukai ketenangan disini, sehingga kami hanya diam saja. Tanpa ada bahan pembicaraan untuk beberapa menit ini.
"Itu sepatu kenapa di lepas?" Tanya Dirga sambil memandangi sepatu yang kuletakkan di samping Dirga.
"Aahh..ini.. bikin lecet kaki." Kataku sambil menunjuk bagian lecet di kaki kananku.
"Ohh... sepatu dari Arsal?"
"Ha?" Bukannya aku tidak mendengar pertanyaan Dirga, hanya memastikan ada kata Arsal dalam pertanyaan itu."
☼☼☼☼
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Trip
RomansaKamu selalu membuatku ingin lari dari sini. Mencoba menapaki setiap bagian yang ada di sudut kota. Ahh..hanya mimpi. Mimpi itu kini ku tutup rapat dalam peti yang kunamakan kenangan. Sampai kamu kembali lagi menapaki hari - hari ku. Tapi bukan kamu...