Rencana (2)

23 4 8
                                    

"Mau pergi kemana?" Oca yang tadinya sedikit acuh padaku, karena ia sedang fokus dengan makanannya, beralih menatapku.

"Mau ke Wonosobo." Jawabku langsung menutup rapat mulut. Berharap Oca langsung merestuiku tanpa banyak dicecar pertanyaan.

"Besok Rabu kita bukannya rapat, ya? Kalo aku si boleh – boleh aja, asal Hp kamu kudu stay di tangan. Jadi kalo aku ngasih tugas ke kamu langsung dikerjain."

Elaah..bu bos..anaknya kan bukan cuma aku. Aku membatin. "Iya bos, kalo perlu tiap menit aku liatin tuh Hp. Abis rapat kok kita perginya, kalo rapatnya belon kelar ya kita ijin."

"Udah ijin sama Gilang?" Senyuman Oca seperti mengejekku.

"Beloomm.." Sungguh, kalo kamu jadi Oca mungkin kamu akan tertawa dengan mukaku yang terlihat bego, bingung, dan minta dikasihani.

"Yaudah, bilang aja sekarang. Daripada besok, kan tambah dadakan kayak tahu bulat." Oca sambil melirik ke arah Gilang yang sedang berbicara pada sekretaris.

"Doain aku dapet restu dari Bapak Ketua, ya mak." Aku bangkit dari posisi dudukku dan berjalan ke arah Gilang. Sementara Oca tertawa di tempat duduknya. Dasar sableng.

"Lang." Sapaku mencoba seramah mungkin. Benar – benar murahan menurutku. Aku duduk di sampingnya.

"Kenapa En? Ada masalah di kedisiplinan?"

"Enggak kok. Beres semua!" Kata ku membanggakan diri. Bukan. Membanggakan sie kedisiplinan maksudku.

"Terus? Pasti ada maunya nih?" Dia kini menunjuk mukaku dengan pulpen.

"Heehe..bentar ya..bentar lang." Aku melirik ke arah Ria dan Madi yang masih berada di kelompoknya masing – masing.

"RIA! MADI! Sini woy!" Aku berteriak.

"Ya ampun sableng. Gak usah teriak – teriak. Budek kumpingku." Gilang terkejut dengan teriakanku. Semua orang yang ada di tempat itu juga memandangiku. Aku hanya tersenyum malu dan menggunakan isyarat tangan yang artinya "peace". Ria dan Madi yang mendengarnya hanya tersenyum geli dan menghampiriku. Duduk di sampingku. Lebih tepatnya sedikit di belakangku.

"Bener kan. Mau bilang apa? Mau ijin keluar sekarang?" tanya Gilang sekali lagi langsung ke topik pembicaraan.

Ria dan Madi hanya memandangiku mengisyaratkan bahwa "kamu aja En yang bilang". Aku mengerucutkan bibirku pada mereka.

"Kita mau ke Wonosobo lang. Besok Rabu sampai Selasa depan."

"Ngapain? Kan udah mau TM juga Rabu depan." Gilang memandangiku, kemudian memandangi Ria dan Madi.

"Ya kan kita pulangnya hari Selasa lang. Besok kita juga ikut rapat kok." Sepertinya aku harus mengeluarkan jurus cabe ku. Sungguh, itu hanya jurus sesaat. Aku bukan cabe – cabean.

"Aaaa..Gilang..please.. lagian kalo ada keperluan sama aku atau Madi atau Ria kan bisa ngehubungin kita." Mencoba bersikap seperti anak kecil kepada seseorang yang bisa dibilang tidak terlalu dekat denganku memang aneh.

Gilang menatapku aneh dan menggeser posisi duduknya tanpa ku tahu apa tujuannya. Seakan aku menggodanya. Sekali lagi, aku bukan cabe – cabean. "Ya udah, aku ijinin kalian. Tapi besok Rabu gak boleh bolos rapat, terutama Ria. Kamu kan koornya."

"Siap,bos. Lagian juga ada Aldi. Tapi kita juga gak mau ketinggalan travel. Soalnya udah pesen yang jam 12 berangkatnya." Ria terlihat santai berbicara dengan Gilang.

☼☼☼☼

Kalo udah dapet restu atau gak dapet restu bilang ya.

Pesan grup dari ku kepada Madi. Untuk Ria? Ya kan dia mau pulang ke rumah, gak mungkin kan kalo gak direstuin sama orang tuanya. Beberapa menit kemudian Madi membalas pesanku.

Udah dapet restu. Ahaha..kamu udah En?

Aku yang membaca balasan dari Madi terkejut. Madi yang selalu berpikir dua tiga kali, tetapi orang tuanya langsung merestuinya. Emm..sudahlah tak usah dipikirkan.

Belum..ayah belum pulang. Sejujurnya aku berbohong. Ayahku sudah pulang dari tadi siang. Dia sedang menonton pertandingan sepak bola di ruang keluarga. Aku hanya butuh..sedikit tenaga dan usaha untuk membujuknya. Aku keluar dari kamar dan duduk di samping Ayah.

"Yah.." Sapaku.

"Hmm.." Jawabnya masih terfokus pada layar televisi.

"Boleh ya aku ke Wonosobo. Ke rumah Ria." Aku sengaja tidak mengatakan pergi ke Dieng juga. Aku hanya memastikan sikap ayah mendengar permohonan ijinku.

"Emang orang tua Ria sakit?" Tanya Ayah yang sekarang menatapku khawatir.

"Enggak juga sih. Enha mau sekalian jalan – jalan ke Dieng yah. Mungkin sama kakaknya Ria juga. Jadi kita sama orang dewasa juga kok." Padahal aku sudah menginjak kepala dua.

"Kamu berdua aja? Emang berani? Pergi sendiri aja salah jalan kok. Padahal deket rumah." Celetuk ayahku.

"Yaelah,yah. Itu kan karna aku anak rumahan. Gak suka main kemana – mana."

"Terus kenapa pergi sendiri ke Dieng?" Aku merasa ayah akan menolak ijinku dengan sanggahannya yang ke beberapa kali ini.

"Perginya bertiga yah, Enha, Ria, sama Madi. Aaaaa...pokoknya dibolehin. Enha pengen refreshing, yah. Suntuk di rumah terus." Jurus cabe ku keluar lagi. Aku sudah biasa melakukan ini pada ayah. Terkadang berhasil, terkadang nihil.

"Harus bisa jaga diri kalo di sana. Anak perempuan loh, kamu." Ayah kembali fokus dengan pertandingan sepak bola.

"Jadi? Enha boleh ke Dieng kan? Eh maksud Enha ke rumah Ria dulu baru ke Dieng. Suer deh Enha gak bohong." Aku memeluk ayahku erat. Sangat erat dan mencium pipi ayahku.

"Iya..gak usah akting gitu. Udah tau." Jawab ayahku. Aku dan ayah kemudian tertawa bersama. Aku langsung merogoh Hp yang ku taruh di saku jumpsuit ku.

Alhamdulillah..dapet restu.. aku mengirim pesan di grup.

Syukurdeh..semua direstui.

Alhamdulillah direstui.

☼☼☼☼

masih suasana holiday, jadinya lagi rajin lanjutin cerita ^.^

jangan lupa voment ya gaes..xie xie ni men..

Unpredictable TripTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang