Mengenai Sebagian dari Dirga

9 3 25
                                    


Perlahan tapi pasti, aku ingin mengenalmu lebih dalam. Enha.

Kami masih berada di Kawah Sikidang saat ini. Menikmati keindahan fenomena alam secara langsung, meskipun bau belerang sangat menyengat. Aku, Madi, dan Ria sedang menikmati pemandangan air belerang yang mendidih dan menyembur. Sempat aku berpikir, jika aku tercebur di kawah itu apa badanku langsung luruh?

Tatapanku beralih pada keluarga kecil yang tidak jauh dari kami berdiri. Ada kehangatan diantara mereka. Ibu, Ayah, dan kedua anak kembar yang berumur sekitar lima tahun. Ah aku jadi teringat masa-masa kecil, saat ibu selalu menggendongku ketika bepergian dan aku mengeluh capek.

"Kin ... kamu enggak apa-apa?" Ria mengejutkanku dan menatapku khawatir. Sepertinya dia tahu jika aku teringat dengan Ibu.

"Enggak, senang aja lihatnya. Eh aku jalan kesana ya," menunjuk ke arah Dirga yang ada di bawah.

"Okedeh, kalo ada kemajuan kasih tahu kita ya." Madi mulai menggodaku.

Aku hanya diam dan mengacuhkan Madi. Saat aku ingin memanggil Dirga, dia terlihat fokus menatap ke arah keluarga kecil yang aku lihat tadi. Sampai aku berdiri di sampingnya, tatapan Dirga masih terfokus ke arah mereka.

"Hei!" aku mengejutkannya.

Dirga hanya tersenyum menatapku dan kembali menatap ke arah keluarga kecil tersebut.

"Kangen rumah ya, Ga?" tanyaku penasaran.

"Enggak. Aku senang aja lihatnya. Keluarga yang bahagia."

"Enggak kangen? Serius tuh? bilang aja kangen, kasihan tahu orang tuamu di rumah mikirin anaknya yang kelayapan," celetukku yang kemudian tertawa.

"Gila apa, kelayapan apanya tahu, yang ada dia aja yang kelayapan."

"Maksudnya?" tanyaku penasaran, siapa yang disebut "dia" bagi Dirga.

"Enggak sopan tahu, ngomong orang tua pakai kata ganti dia. Harusnya kamu bilangnya beliau."

"Aku udah enggak punya orang tua, lebih tepatnya aku udah enggak punya Ibu."

"Maaf. Tapi kamu juga gak boleh ganti pakai dia, tapi Ayah. Walaupun ayah kamu banyak kerjaan, dia juga tetap ayah kamu kan." Aku tahu aku sudah kelewatan. Aku juga tidak tahu alasan Dirga yang seolah kesal dengan orang tuanya.

"Kamu tahu apa? Ibu pergi gitu aja. Harusnya aku juga diajak", Dirga berjalan turun ke bawah sambil mengutak-atik kameranya.

"Hussh ... jangan gitu ih. Ibuku juga udah enggak ada. Maaf aku udah lancang sama kamu, aku enggak tahu sebenarnya kamu kesal karena apa. Tapi bukannya Tuhan udah nentuin kapan kita meninggal? Jadi jangan salahin ibu kamu, Dirga," kataku yang sudah berada di sampingnya.

Dirga berhenti dan menatapku. Ada perasaan sedih, marah, kesal, yang saat ini aku bisa lihat di mata Dirga. Aku juga pernah menjadi Dirga saat ini, persis. Aku menepuk-nepuk bahu Dirga mencoba menenangkannya.

"Makasih," kata Dirga sambil melepaskan tanganku. Aku ingin saja bertanya mengenai masalah Dirga, terutama keluarganya. Tapi aku tahu diri, aku hanya orang baru yang ada di hidup Dirga. Bahkan mungkin setelah pertemuan kami di Dieng ini, kita tidak akan bertemu lagi.

☼☼☼☼

Setelah puas menikmati Kawah Sikidang, kami melanjutkan perjalanan ke Telaga Warna. Boleh saja kami menjelajahi seluruh objek wisata yang ada di Dieng ini, tapi aku dipaksa untuk pulang besok. Ah mengingatnya saja bikin mood ku hancur.

"Kalian pulang kapan?" tanya Madi pada Arif yang ada di sampingnya. Kami masih betah untuk mengelilingi Dieng dengan berjalan kaki.

"Hari ini. Soalnya kita ada rapat panitia OSPEK. Tuh, si Arsal apalagi, ketua OSPEK."

Unpredictable TripTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang