Hai readers, happy reading :)
"I don't need a friend who changes when i change and who nods when i nod, my shadow does that much better."
-- Plutarch --"Yah Nda, kok gitu sih," keluh Rissa kecewa.
Manda kembali menatap lembaran tiket itu dengan sendu. Ya Tuhan, ia ingin bersenang-senang bersama Rissa untuk terakhir kali, tapi ia juga tak yakin bisa meluluhkan hati ayahnya. Pasalnya, ayahnya sudah memberitahu Manda jauh-jauh hari tentang rencana pergi ke Jakarta. Astaga, ia bahkan tak diberi tahu alasan kepergian itu.
Air matanya kembali tumpah perlahan, melewati pipi yang sudah kaku karena air mata yang mengering.
"Nda...ssshh," hibur Rissa sambil merengkuh Manda lagi.
"Oke, kamu nggak harus dateng ke acara ini kok, kamu tahu kan kalau kita masih bisa pergi jalan-jalan, ada dua minggu lagi kok. Dan acaramu ke Jakarta, pasti lebih penting."
"Ris..." Manda melepaskan pelukannya.
"Hm?"
"Aku mau ngasih sesuatu," katanya sambil beranjak dari ranjang dan menuju ke meja belajar. Tangannya sibuk membuka lemari-lemari kecil kemudian menarik sebuah sketch book merah muda.
"Dulu waktu kecil, aku punya cita-cita bikin komik," ceritanya sambil membuka lembar demi lembar kertas sketch booknya.
"Dan komik pertamaku itu aku bikin di sini. Tapi, beberapa part hilang karena suatu kejadian. Karena aku kesel dan lupa cerita yang mau kubuat, jadi nggak kulanjutkan." Kemudian gadis itu menyobek salah satu lembaran gambarnya.
"Ini adalah part favoritku. Aku mau kamu menyimpannya. Karena ini bersejarah buat aku," jelasnya sambil menyodorkannya pada Rissa.
"Bersejarah?"
"Part itu, tentang seorang gadis kesepian yang akhirnya mendapatkan sahabat." Seulas senyum merekah dari bibirnya, pikirannya melayang ke masa-masa ia membuat komik itu berdasarkan kisah pribadinya.
"Dan kamu pengen aku meyimpannya gitu?" Gadis itu mengangguk tegas.
Rissa memandangi karya tangan ajaib sahabatnya, kadang ia iri kenapa Manda begitu jenius soal gambar, sedangkan dirinya hanyalah seorang pelukis gunung, matahari, dan sawah yang dibelah oleh sebuah jalan raya.
"This is amazing. I'll keep it."
***
Dengan perasaan kesal Manda melempar kardigannya ke pojok ruangan. Napasnya memburu, hawa panas menjalar ke seluruh tubuh kendati AC terus menyemburkan hawa dingin.Dikeluarkannya sebuah kertas kumal dari saku celana jeans, dengan gemas ia remas dan dilempar ke jendelanya.
Ia tak habis pikir. Apa yang dipikirkan ayahnya? Pindah ke Jakarta seperti mimpi buruk baginya. Kemudian ia rebah dan meledakkan tangisnya di bantal kesayangannya.
Baru lima menit yang lalu ia kembali menapaki rumahnya setibanya dari perjalanan darat dari Jakarta yang sangat melelahkan. Di sepanjang jalan itu pula ia berusaha menahan tangisnya, ia tak mau diomeli ayahnya.
Yap, maksud ayah membawanya ke Jakarta tidak lain adalah untuk melihat rumah baru yang barusan ayah beli. Tanpa persetujuan dari Manda
Sekelumit kepedihan menohok hati dan ingatannya. Sungguh, kota yang kelam baginya. Ia tak siap, sekarang maupun besok, ia belum bisa menghadapinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Windows of Love
Teen FictionTHE WINDOWS OF LOVE . . . Through the window, I meet your gaze Through the window, Everyday i'm healed Through the window I find my sunshine So please, open your window for me And let me love you... -------