Professional?

16 2 0
                                    

Hai readersku yang setia, happy reading :)

"Love the heart that hurts you, but never hurt the heart that loves you."
-- Vipin Sharma --

Dimas masih menatap kosong ponselnya yang menampilkan aplikasi chat. Kendati begitu di pikirannya bejubel ribuan cela untuk dirinya sendiri.

Harusnya ia tak melakukan ini. Dammit! Kini ia melempar ponselnya ke ujung sofa dan menangkup wajah dengan telapak tangan. Sesal adalah kutukan di akhir yang meremas hatinya.

Hujan masih menderu, membasahi tanah ibukota dengan hebatnya. Dari dalam lobby terlihat butiran air hujan menempel di pintu-pintu kaca studio. Suasana hatinya tak jauh kalut dari cuaca sekarang.

Bego.bego.bego. kutuknya dalam hati. Harusnya ia tak menyatakan perasaannya pada Sonia. Harusnya tak secepat ini. Harusnya ia lebih bisa menahan diri. Harusnya....harusnya. Ya, otaknya hampir meledak memikirkan kejadian yang harusnya terjadi. Bukannya seperti ini. Sekarang apa? Sonia bahkan tak mau dihubungi, meski hanya sebagai teman.

Ya, ia rela hubungan mereka sebatas teman. Asalkan ia bisa terus berhubungan dengannya. Astaga, gadis itu sudah seperti sahabatnya sendiri selama ini. Andai ia bisa memperbaiki kaca yang retak ... andai saja.

Sebuah Camry berhenti di depan studio. Sorot lampu yang memantul di dinding parkir menyadarkan lamunannya. Dengan sigap Dimas bangun dan duduk di sofa dengan sopan. Apa itu orang tua Davin yang datang?

Tak lama kemudian turun seseorang dari kursi kemudi sambil mengembangkan sebuah payung pelangi yang besar. Orang itu segera membuka pintu penumpang belakang.

Seseorang yang turun kemudian membuat Dimas terbelalak. Sonia. Katanya gadis itu sakit, apa ia sudah sembuh? Kenapa ia kemari? Dan pertanyaan lain mengantre untuk dijawab nanti ketika gadis itu sudah masuk.

Dimas menatap sendu gadis itu dari dalam. Ia cantik seperti biasanya, meskipun katanya sakit. Tubuh tingginya dibalut minidress warna krem pastel, hampir senada dengan kulitnya. Kaki jenjangnya tetap terlihat indah meskipun tanpa heels, hanya sneakers coklat yang kini sedikit belepotan kena lumpur.

Dimas menelan ludah susah payah, tak biasanya ia canggung dengan gadis itu. Tapi kini, jarak 10 meter saja sudah mampu memontang-matingkan hatinya. Astaga, ia gugup. Gadis itu sangat cantik, dengan rambut coklat sebahunya yang kini agak klimis kena air hujan.

Sonia berlari kecil menuju kanopi studio bersama sopirnya yang masih memayungi. Setelah sampai di teras, sopirnya kembali dan segera membawa mobil itu pergi. Sonia tampak sedikit merapikan rambutnya sebelum mendorong pintu kaca. Sekantong tas plastik minimarket tertenteng di tangan kanannya.

Gadis itu agak tersentak sebentar ketika hal pertama yang dilihatnya adalah orang yang paling dihindarinya. Tapi kemudian ia sadar, ini kan juga studio tempat Dimas berlatih.

Setelah beberapa saat saling tatap, Dimaslah yang pertama kali menemukan kembali suaranya. "Hai?!" Sapanya canggung. Astaga, biasanya gadis itu malah memeluknya setiap kali mereka bertemu. Kini wajah cantik itu hanya menyunggingkan senyum tipis, namun tetap memabukkan Dimas.

Ketika gadis itu tak juga bersuara, Dimas berdeham, "kamu udah sembuh?"

"Lumayan. Davin mana?"

Hatinya seperti tersambar ribuan volt petir. Oh man! dia mencari Davin rupanya. Dimas menertawai diri sendiri dalam hati.

The Windows of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang