Hay hay hay :)
"Where should we run to? We got the world in our hands and we're ready to play."
-- Mama, Jonas Blue ft William Singe ----------------
Davin menatap kaki-kaki Manda dengan tatapan geli. Gadis itu benar-benar seperti anak kecil. Wajahnya babyface, pendek, dan sedang manyun seperti balita tak dibelikan permen."Udah nggak papa, keren kok," hibur Davin susah payah menahan tawa.
Manda mendengus sebal. Ia tahu Davin tak sungguh-sungguh. Pasalnya, sandal yang ia kenakan kini lebih cocok dipakai di ruangan indoor. Sandal bulu-bulu warna pink dengan boneka kepala kelinci yang hampir menutupi sebagian besar bagian depan sandal itu, untung saja stok terakhir di toko itu bermodel bagian depan terbuka, sehingga masih memungkinkan Manda memakainya. Ini membuatnya lebih mirip badut Dufan yang kecolongan kostum.
"Kenapa coba sandal kayak gini dijual di sini?" Manda mengomel.
"Udahlah yang penting kan udah kagak kayak anak SMA gagal UN. At least, lo pake sandal." Ujar Davin sambil nyengir.
Dengan level gonduk yang belum turun, Manda memilih melangkah pergi menuju parkiran. Yang benar saja, jarum jam di tangannya sudah menunjukkan pukul lima sore. Bagaimana bisa ia melupakan konsekuensi yang menanti di rumah? Ini gawat.
Di tengah perjalanan menuju tempat parkir, hujan tiba-tiba turun dengan deras tanpa aba-aba, meskipun langit sebelumnya sudah menampilkan mendungnya, tapi paling tidak ada gerimis terlebih dahulu. Jadi, Manda sudah sangat pasrah ketika tubuhnya seperti habis disiram waterboom.
"Gila nih hujan. Gede banget. Buruan lari!" Samar-samar ia mendengar suara Davin bersahutan dengan gelegar petir yang membelah angkasa. Sesaat kemudian pergelangan tangannya ditarik Davin untuk ikut berlari. Oke, kini sandalnya sudah sangat menyedihkan.
Mereka segera masuk ke dalam mobil meski itu tak membuat mereka sedikit selamat dari kekuyupan.
"Sialan." Umpat Davin sambil memandangi seatnya yang ikut basah. Tetes air hujan dari tubuh mereka tak urung ikut membuat bagian dalam mobil itu jadi basah.
Davin mengaduk-aduk tumpukan barang di kursi bagian belakang yang berantakan. Manda baru sadar kalau mobil Davin begitu berantakan. Astaga, apa semua laki-laki tidak bisa sedikit rapi? Tidak, ayahnya bisa ia kategorikan laki-laki yang menjunjung tinggi kerapian.
Davin menarik sebuah handuk warna putih yang masih berbungkus plastik laundry bersama beberapa kaos lain. Kemudian menyodorkannya kepada Manda.
Tanpa percakapan Manda segera mengeringkan rambut dan kulitnya. Tapi jelas itu tak bisa membantu kekuyupan yang membuat seragamnya kini terlihat menyedihkan.
"Nih lo pake ini aja." Davin memberikannya sebuah hoodie navy yang ia ambil dari tumpukan di kursi belakang.
Manda menyernit menerima hoodie itu. Sangat besar.
"Daripada tembus pandang?" Davin terkekeh ketika wajah Manda memerah. Gadis itu benar-benar polos. Davin geleng-geleng kepala ketika Manda cepat-cepat memakai hoodienya dengan wajah kesal.
Saking besarnya hoodie itu, setengah tinggi rok Manda tertutupi dan tersisa panjang lengannya. Tapi itu sangat hangat, paling tidak ada alasan untuk tidak mengomel.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Windows of Love
Teen FictionTHE WINDOWS OF LOVE . . . Through the window, I meet your gaze Through the window, Everyday i'm healed Through the window I find my sunshine So please, open your window for me And let me love you... -------