Happy reading :)
"If this night is not forever, at least we are together. I know i'm not alone. I know i'm not alone."
--Alone, Alan Walker ------------
Sudah dua hari berlalu pasca kecelakaan Ara. Berita perpecahan X-Blitz sedang hangat-hangatnya diperbincangkan seantero sekolah dan dunia breakdance.Dua hari itu pula tidur Davin tak lagi nyenyak. Bayang-bayang rasa bersalah menghantui mimpi-mimpi malamnya. Terlebih lagi dirinya tak diperbolehkan menjenguk Ara oleh Naro dan Dimas. Setiap kali ia datang ke rumah sakit, selalu berakhir dengan bersitegang.
Kemarin malam Davin juga membatalkan tawarannya pada Sonia dan memutuskan hubungannya dengan Vera. Ia merasa sedang tak sanggup bermain-main.
Dan seminggu lagi, ayahnya resmi mengambil alih studio kesayangannya menjadi sebuah kantor cabang meubel.
"Davin Maruta!! Apa kamu mendengarkan saya?!!" Suara bariton itu sukses membangunkan lamunannya. Spontan seisi kelas menghadap ke arah kursi paling belakang.
"Maaf Pak," ucapnya datar tanpa penyesalan.
Saat ini ia sedang berada di kelas Biologi. Dan sejak satu jam terakhir pikirannya sama sekali tidak di situ.
"Coba jelaskan setahu kamu tentang E.Coli!!" Tantang Pak Ahmad sambil menatapnya tajam.
Keheningan menyelimuti kelas itu. Ini bukan pertama kalinya Davin kena semprot guru-guru. Jadi, ia sedang mencari jawaban terbaik yang dimiliki otaknya.
Sialan, siapa lo E.Coli?
"Peliharaan saya Pak. Di usus." Jawab Davin santai. Ia sudah siap seandainya harus ditendang keluar. Lagipula ia butuh udara segar saat ini.
Setelah satu kelas tergelak, Davin langsung dikeluarkan dari kelas itu. Sesuai harapannya.
Tujuannya kali ini adalah tempat persembunyiannya seperti biasa. Harusnya ia berdiri hormat tiang bendera, tapi setelah Pak Ahmad pergi, ia langsung kabur.
Sebuah taman kecil di sudut terpencil sekolah. Dengan satu kursi panjang tua di bawah pohon mangga. Posisinya yang terhalang gedung perpustakaan membuatnya semakin jarang dikunjungi orang.
Davin mengeluarkan sebatang rokok yang tadi dibelinya sambil berjalan ke taman itu. Ia hampir tidak pernah merokok. Baru dua kali ini sejak beberapa bulan lalu, saat kondisinya sama-sama tertekan.
Ketika sudah sudah mencapai taman itu, langkahnya terhenti. Sepasang manik mata hitam legam sedang menatapnya dari kursi itu. Gadis bodoh itu.
"Ngapain lo disini?" Suaranya terdengar sedikit kasar dari yang ia maksud.
Kehadiran gadis itu membangunkan dua sisi hatinya. Di satu sisi, ketenangannya terusik. Di satu sisi, entahlah, ia jadi ingin membuang rokoknya.
Gadis itu tampak terkejut beberapa saat. "Cuma duduk." Jawabnya kemudian memalingkan wajahnya.
Davin mengambil posisi duduk di sampingnya. Harusnya ia mencari tempat tenang lain, tapi kakinya tak bisa diajak berkompromi.
"Lo cabut?" Tanya Davin setelah menghembuskan asap.
Gadis itu melirik sedikit kemudian berpaling lagi ketika asap itu mengganggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Windows of Love
Teen FictionTHE WINDOWS OF LOVE . . . Through the window, I meet your gaze Through the window, Everyday i'm healed Through the window I find my sunshine So please, open your window for me And let me love you... -------