Laki-laki di Jendela Seberang

12 2 0
                                    

Hai readers, happy reading :)

"Life is a dream for the wise, a game for the fool, a comedy for the rich, a tragedy for the poor."
-- Sholom Aleichem --

"Bilang sopirnya suruh cepet Manda!!" perintah ayah lewat telepon dengan geram.

"I...iya ayah," jawabnya gagap.

"Emm, pak, agak ngebut ya," katanya sembari menelan ludah. Kemudian menggigit bibir dan meremas roknya.

Ini adalah kali pertamanya naik taksi sendirian. Jadi ia gugup. Itu sudah menjadi kebiasaannya bila bertemu orang baru, takut dan gugup.

Setengah jam lalu ia meninggalkan bandara setelah berpisah dengan Rissa. Ya, hari ini Rissa telah pergi. Ke benua yang sangat jauh di seberang sana. Memiliki kehidupan baru dan teman-teman yang baru. Dan Manda hanya bisa berdoa supaya Rissa tak pernah melupakannya.

Oh, ini akan sulit. Membayangkan kehidupan barunya juga di Jakarta. Tanpa Rissa. Dengan setumpuk kenangan masa lalu yang meremas hatinya. Kenapa semua orang yang mencintainya pergi? Pertama, ibunya, kemudian Rissa. Astaga, ia rindu ibunya.

Ia sudah kehabisan tisu, jadi ia mengelap air matanya dengan bajunya. Sebenarnya ia lelah menangis. Tapi air kesakitan ini seakan tak mau berhenti.

Ia menghembuskan napas panjang. Sesampainya di rumah ia harus segera mengemas barangnya. Kemarin ayahnya bilang kalau kepindahannya dipercepat. Besok, ia harus angkat kaki dari rumah.

Sedangkan Rissa tak tahu perihal kepindahannya. Ia tak mau suasana pedih ini bertambah pelik. Tapi ia akan memberitahunya suatu hari nanti, ketika semuanya sudah baik-baik saja.

"Manda! Barang kamu sudah ayah kemasi. Nanti sore kita berangkat. Ayah sudah ditelepon kolega untuk segera menyelesaikan masalah ayah. Jadi, kamu harus cepat tiba di rumah dan bantu mengemasi yang tersisa," komando ayahnya.

"Apaa? Nanti sore?!"

"Iya, makanya suruh cepat itu sopir!"

***

Begitu turun dari mobil dan meletakan barang-barangnya di kamar barunya, Manda hanya ingin merebahkan tubuh yang remuk redam akibat perjalanan darat yang super melelahkan.

Ia menatap tempat tidur barunya dan mendengus kesal. Kamar ini belum siap untuk dijadikan tempat istirahat. Jadilah ia membongkar koper mencari sprei hello kitty kesayangannya.

Kamar tidur ini lebih kecil dari miliknya dulu. Tapi nuansa birunya sangat terasa, membuatnya peningnya lumayan berkurang. Kalau ia belum bisa menerima kepindahannya, setidaknya ia mulai mencintai kamarnya. Cinta bisa tumbuh pelan-pelan kan?

Ia menghela napas panjang, sepertinya ia lebih bersemangat menata kamarnya sekarang ketimbang tidur. Dimulai dari membedah empat koper besar, ia berharap lemari barunya cukup menampung semua bajunya. Kemudian meletakkan barang lainnya di sebuah meja belajar yang penuh dengan almari kecil.

Sudah lebih dari satu jam berlalu, barangnya belum juga beres tertata. Mungkin ia akan lanjutkan nanti, untuk sekarang kelopak matanya terasa sangat berat, tidur di mobil membuat punggungnya pegal.

Sambil menguap ia membuka tirai biru muda yang menjuntai menutupi kaca jendela. Secercah cahaya langsung menembus kamarnya.

Ia menggeliat dengan puas sebelum bibirnya mengerucut ketika menyadari bahwa bukan pemandangan indah yang terpampang di luar, namun sebuah bangunan lagi. Oh ya ampun, ia lupa kalau ini perumahan. Detik itu, ia merindukan rumah lamanya.

The Windows of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang