KEPADA ENTAH

35 2 0
                                    

2011

[MEI]

Ia masih bersimpuh pada lapisan bibir biru dan wajah kuyu. Entah mengapa tak satupun bagian dalam diri mampu membuat hatinya menjadi lebih tenang. Perasaan dan jiwanya bergejolak serupa laut yang baru dihoyak oleh pergeseran patahan lempeng bumi. Ia hancur lebur, tapi masih bernyawa.

Ia telah berteriak, melengking, menggelepar, juga mengaum dengan mata nanar dan nyalang. Ia telah ribuan kali mengatakan pada dirinya bahwa ia harus keluar dari keadaan ini. Berulang kali hingga bibirnya adalah getar. Lidahnya adalah kaku. Tubuhnya menjelma kosong. Tapi, entah kenapa pula ia hanya berputar-putar saja, terperangkap dalam perih, lalu mengoyak-ngoyak lukanya sendiri.

Kini ia adalah cacing yang mengemis luka. Tergeletak di bawah terik. Kering. Kosong. Hampa. Menanti kematian yang tak kunjung tiba.

Kau sedang sakit, kau sedang sakit

Kepedihan berputar-putar meregang sel syaraf. Mengusutkan. Tiga detik lagi otaknya mungkin akan meledak. Pecah berkeping-keping. Berserak, masuk ke got dan tumpukan sampah tua. Kemudian menguap bersama busuknya aroma kehidupan manusia. Menuju langit kehidupan yang menjijikkan sekaligus menakutkan.

Ia tahu. Ia sedang sakit. Ia bahkan telah mengumbar sakitnya pada dunia. Ia adalah anak itik yang terlahir cacat tanpa bulu sempurna. Ia telah mengiba pada ayahnya, ibunya, temannya, kekasihnya, dosennya. Meminta mereka untuk mengerti bahwa ia sedang sakit. Memuakkan memang. Mungkin ia sedang gila atau justru sedang tak tahu diri.

Keparat kalian semua. Tega-teganya menuduh aku sakit. Kalian yang sakit. Kalian tak pernah benar-benar mendengarkanku.

"Kenapa kalian malah menuduh aku sakit. Aku stres. Aku gila. Kenapa?"

"Kita tidak menuduh Mei. Tidak. Saat ini kamu sehat"

"Kami hanya ingin kamu bisa mengubah pola hidupmu yang berantakan. "Supaya kamu tidak sakit lagi. Ingat sebentar lagi kamu sidang terakhir Mei. Kami tak mau melihatmu sakit setiap kali kamu stres menghadapi ujian. Kamu tertekan Mei."

Teman-teman keparat dan Gunawan, pria yang terpaksa aku sebut kekasih, sama saja. Sama-sama ingin membunuhku. Mereka ingin mencekik tubuhku dari belakang ketika aku tertidur. Aku bahkan tak dapat melihat Gunawan sebagai calon ayah yang baik untuk anak-anakku. Kadang aku berharap agar mobil yang melintas tepat di depanku pagi tadi dapat menghabisi tubuhku. Atau esok pagi sebaiknya aku sengaja menerobos palang kereta api . Biar diriku habis. Selesai. Itukah yang dunia mau dariku?

KENYATAANNYA MEI, kau lihat. LIHAT: Sampai saat ini kau tak mati-mati juga. Kau juga tak mengerti mengapa. DUNIA MEMANG LICIK. APAP KATA MEREKA? KAMU STRES? HA HA HA MEREKA YANG TAK PERNAH MEMBERI PERHATIAN TULUS PADAMU.

SALAHKAH KAU MEI? SALAHKAH KAU YANG TELAH MENGINGATKAN MEREKA BAHWA MEREKA ADALAH ORANG YANG TAK PERNAH BENAR-BENAR TULUS.

***

AWAN DALAM GELASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang