PEREMPUAN PUN TERCIPTA #3

12 0 0
                                    


Asma menjelma serupa perempuan yang tak mengenal dunia kecantikan sama sekali. Tak tertarik pada seni berpakaian. Seni bersepatu. Baginya yang penting ia sudah menjadi orang baik, itu cukup.

Bebek Kusut sama sekali tak hobi foya-foya. Yasmin yakin 100% agama Bebek Kusut sebenarnya bukan Islam seperti tercatat di KTP, melainkan paham baru yang menganggap restoran merupakan benda paling haram di dunia. Tiap hari makan di warteg atau kantin kampus. Macam bebek senewen yang tiap hari bermain lumpur di sawah yang sama. Ke sawah. Ke sawah. Dengan formasi dan suara yang sama. Ditambah lagi dengan kebiasaannya mengutak-atik kata-kata di dalam kamus. Bermunculanlah kata-kata yang membuat hidung bertekuk lutut, semacam teraju dan lindap. Atau kata yang lebih aneh lagi yaitu kelekatu.

"Kelekatu? Apa itu?" Hidung Yasmin bergerak aneh.

"Aduh, makanya kamu tu lihat kamus. Artinya rayap Min. Rayap," Asma tertawa aneh.

Yasmin menelan ludah. Sempurna sudah. Asma adalah perempuan yang menyulitkan segala sesuatu yang mudah.

Apa susahnya sih bilang rayap?

Bebek kusut itu bisa seperti orang sakit yang sedang merakit robot jika merangkai-rangkaikan kata-kata suci yang baru diambilnya dari lumpur kamus ke dalam puisi-puisinya. Yasmin tak habis pikir. Asma mampu makan dengan menu itu-itu saja setiap hari. Ia tak pernah tertarik makan di restoran. Tak berminat pada gedung bioskop. Itulah Asma si Bebek Kusut. Melalui bukti nyata seekor bebek kusut, Yasmin menjadi yakin bahwa salah satu cara menjadi kaya adalah menjadi orang paling irit sedunia. Terbukti 100%

Hanya satu karya Asma yang paling menyenangkan. Saat kata-kata aneh itu berubah menjadi puisi. Kata-kata itu berderet rapi. Tersusun di tempat yang tepat. Berpadu dengan kata lainnya. Yasmin pernah membaca salah satu bait puisi berjudul Pulang buatan Asma di salah satu koran kampus.

Kita pulang kembali. Melingkar dalam puisi merayakan kenangan dan mimpi.

sekarang kita paham, mengapa aku harus mengenalmu

pun sebaliknya

jejak-jejak yang kita titipkan di sudut kota, suatu hari akan kering

lepas untuk berganti yang lain.

Seperti pagi. Rindu ini kita bawa agar senja punya nyawa. Angin membuat

kita renta. Tapi aku tak takut karena kau selalu tahu

di mana aku dan lainnya menunggu

Kita pulang kembali. Menyalakan lilin-lilin yang sempat mati.

Mari, tuangkan rindumu dalam gelasku

Tidak ada lelah untuk bersulang denganmu.

Jika langit sudah memerah, arah angin berubah

kita pulang

kembali.

Yasmin merinding membaca susunan kata-kata Asma.

Yasmin menatap Asma yang tengah menatap Mei. Asma bersiap mengeluarkan kata.

"Aku akan menanamkan akan berusaha lebih giat lagi untuk mencari durianku." Mei berucap mendahului Asma.

"Bagus, segila apapun cita-cita kita. Kita berempat ada di sini untuk saling menyemangati," Asma diam sejenak. Matanya menyipit. Semakin terlihat berat di mata Yasmin.

"Ingat. Hasrat yang kuat. Masukan dalam lorong urat darah kalian."

Empat perempuan itu terdiam. Perlahan bubar sebelum mulut Asma mengeluarkan kata-kata lain yang akan membuat ngilu syaraf mereka. Pembubaran dipercepat demi tujuan lain juga yaitu berkontemplasi dengan nurani masing-masing. Nurani sendiri terbukti lebih jujur dari semua pembangkangan. Begitulah cara mereka mengatasi ketakutan di hidup. Dengan mengobrol. Walau tak semua hal dalam obrolan adalah kejujuran. Sesuatu bernama kejujuran adalah barang mahal di hati perempuan. Mereka bisa menyurukkan hal itu dalam sebuah lubang misterius yang ditutupi oleh labirin dengan kelolan berlapis. Tak terdeteksi oleh peta apapun. Itulah nurani manusia. Tempat kejujuran berada dan berkata-kata. Ia baik. Suci. Murni. Hanya sayang, lebih sering tak didengar oleh pemiliknya.

Perkumpulan empat bebek yang hendak jadi merak ini mirip kelompok orang-orang tertekan dalam film Les émotifs Anonymes, sebuah film Prancis. Dalam film itu diceritakan kumpulan orang-orang dengan emosi berlebih. Mereka rutin berkumpul untuk mengungkapkan emosi masing-masing. Hanya kepada sesama penderita emosi berlebihan mereka dapat menceritakan penderitaan. Ornag-orang normal tak akan dapat mengerti apa yang mereka rasakan. Maka tak jarang mereka bercerita sambil teriak, menangis, atau bahkan pingsan. Bahkan ada yang hanya sanggup mengeluarkan satu kata, lalu menangis tersedu-sedu dan segera berlari pulang. Meski begitu mereka tak pernah absen sekali pun dalam setiap pertemuan. Mereka saling membagi ketakutan masing-masing agar hidup tetap berjalan dengan damai.

Meskipun begitu keempat perempuan ini menolak jika kelompok mereka disamakan dengan kelompok imajinatif dari film itu. Empat perempuan bebek ini lebih suka menyebut diri mereka "ibu-ibu arisan."

Persahabatan yang terperangkap dalam nasib, takdir, status sosial, dan kondisi geografis di koordinat GPS 60 17'1" S 1060 70" 17 S. Kemudian diteruskan dengan naik angkot dari Pasar Minggu ke Depok dengan ongkos Rp. 2000,00 jika dibayar dengan uang pas. Untuk uang tidak pas, ongkos pun berubah menjadi Rp. 2500,00 atau Rp3.000,00 tergantung peruntungan dan nilai rupiah tentunya.

Ibu-ibu arisan merupakan sebuah kelompok pertemanan dengan ideologi modern. Penuh dengan kebebasan dan hak masing-masing. Mereka bebas menjalin hubungan sosial dengan siapa saja, namun untuk urusan krusial semacam kejiwaan: ibu-ibu arisan adalah tempat kembali. Ibu-ibu arisan itu bertangan selebar tangan Tuhan yang sanggup menampung segala jenis keluh kesah dan pertanyaan kehidupan.

AWAN DALAM GELASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang