HARUKI #3

2 0 0
                                    


Aku masih menatap layar laptop. Haruki benar-benar memperlihatkan film yang dibintangi Nakatami Miki padaku. Film yang menarik. Ia duduk di sebelahku. Tenang dan diam tapi tak bersentuhan sama sekali denganku. Tubuh kekar itu seakan menjanjikan perlindungan dan ketentraman untukku.

Itulah yang membuatku ragu. Sikap Haruki yang sangat sopan kepadaku. Ia mendengarkan setiap perkataanku. Ia mengetahui bahwa aku tak terlalu suka bersentuhan dengan lelaki. Ia memahaminya. Menjagaku. Ah, benarkah? ia sedang menjagaku? Hatiku berdebar. Aku membiarkan di tetap di sampingku. Aku sengaja menatap layar laptop, tak mencoba memandangnya sama sekali.

"Ah, sempit. Kamu kan udah nonton filmnya. Ngapain nonton lagi," aku mulai merasa gelisah dengan posisi Haruki.

"Perempuan sombong, aku mau nonton lagi." Ia masih tetap tak beranjak.

Aku menarik nafas. Selama dia tidak macam-macam. Aku pun membiarkannya tetap berada di sampingku. Ada kehangatan di dalam jiwaku. Merasuk pelan serupa angin yang bercumbu dengan kuntum bunga. Hanya saja semuanya hanya terjadi di hatiku. Aku mereguk angin segarku. Menciumi bau bunga. Aku berlari di padang terang imaji. Memabawa Haruki ku berlari. Di bagian yang lain, otakku meneriakkan kenyataan. Pria di sampingku akan pergi. Aku tak boleh egois. Mementingkan diriku sendiri lalu menghancurkan persahabatan ini dalam sekejab. Aku tak mau ia membenciku.

Mungkinkah ia juga menyukaiku?

Aku merapuh menanggung semua ini sendirian.

***

Aku mencoret-coretkan pulpen ke kertas kecil. Tintanya tak keluar sama sekali.

"Kenapa?" Haruki melihat ke arahku. Aku menatapnya.

"Tintanya tidak keluar. Sini tangan kamu," aku mulai mejalankan keisenganku.

Ia memberikan tangannya. Aku menggores beberapa kali. Pulpen itu mengeluarkan tinta.

Haruki berpikir bahwa aku hanya kan mencoret sekadarnya saja. Untuk mengetes pulpen itu. Nyatanya aku membuat garis panjang berputar-putar. Semakin panjang. Aku tersenyum licik. Haruki menyadari tingkahku. Ia segera menarik tangannya.

"Anak nakal. Awas ya." Ia mendekati tasku. Mengancam akan membongkar isi tasku dan mencuri celana dalamku. Aku mengancam balik akan mempermalukan prilaku dia yang kekanak-kanakan.

"Malu sama umur Haruki. Masa sudah tua masih main ancam-ancaman."

"Biarin, gak ada yang tau kan?"

"Kalau aku lapor ke atasan kamu di Jepang, kamu bisa dipecat kerja ya!"

"Whatever," ucapnya tak mau kalah.

Aku cemas. Ia memegang ujung resleting tasku.

"Jangan! Jangan! Wuah gawat. Ini tidak adil."

Dia tersenyum puas. Tapi tak mau kalah begitu saja.

Dasar lelaki liar.

Kami pun saling mengancam hingga capek sendiri. Tasku tetap aman. Aku minta maaf padanya. Dia memaafkanku. Lalu kami memutuskan untuk mencari sarapan.

"Muffinnya enak," Haruki mengunyah muffin pesanannya.

"Agak aneh untukku. Kurang manis dan empuk."

"Ah, kamu orang Indonesia. Semuanya harus ditambah gula. Bahkan kopi juga."

"Biarin, kopi pahit tidak enak," lidahku nyaris patah jika berbicara padanya. Deretan bahasa-bahasa baku bersusun-susun di kepalaku. Haruki masih kesulitan diajak berbicara menggunakan bahasa Indonesia nonformal.

"Itu aneh ya. Kamu jadi tidak tahu rasa asli. Tidak tahu beda kopi Toraja dan Sumatra karena semua rasanya sama-sama manis."

"Aku suka kopi Indonesia. Rasanya enak. Kenapa orang Indonesia lebih suka kopi luar negeri?"

"Mama aku tahu. Aku kan tidak suka kopi. Mungkin di mata orang Indonesia semua yang berasal dari luar negeri terlihat bagus he he," aku tersenyum sebisa mungkin.

Semakin hari aku semakin tak waras. Aku berpikir semakin keras. Aku harus melogikan semuanya. Agar semua hal tak jadi cinta. Penyesalan menjejal bertumpuk-tumpuk. Mengutuk semua tindakan yang pernah aku lakukan selama ini. Masa lalu adalah kumpulan kesalahan.

Pertama, Haruki tak pernah bilang suka padaku. Berarti dia tidak mencintaiku. KAMI HANYA TEMAN BAIK. DIA HANYA KE INDONESIA UNTUK PENELITIAN YASMIN. INGAT KISAH YAYA.

Kedua, Haruki adalah orang dengan tujuan yang lebih jelas daripada mentari di siang hari. Aku juga. Dia ke Indoneisa hanya untuk melakukan penelitian, bukan menjalin kisah cinta.

Ketiga, aku tak mau jadi perempuan gila setelah Yaya yang meraung-raung karena mengharapkan sesuatu yang terlalu tinggi.

Keempat, kami menjadi teman baik karena kami senang membantu. Setelah melakukan penelitian terhadap seribu film Jepang, ditambah gaya berteman Tyas--salah satu mahasiswa sastra Jepang-dengan Kojima, dapat disimpulkan bahwa orang Jepang memang suka memuji seseorang cantik karena sifat orang tersebut baik. Orang Jepang memang ramah. Jadi, keramahan Haruki adalah W A J A R.

Kelima, Haruki adalah seorang agnosistik kelas kakap. Ia mempercayai Tuhan tapi tak peduli agama. Baginya Tuhan hanya satu berlaku untuk semua manusia. Aku sudah kenyang dengan tipe orang semacam ini. Di fakultasku ada banyak Tuhan, tak sedikit mahasiwa yang bertuhan alam semesta. Tak sedikit juga yang tak bertuhan. Hidup adalah pilihan. Aku tak akan sudi menikahi seorang agnosistik meski ia baik dan taat aturan seperti Haruki.

Aku tersenyum puas. Jelas sudah. Semua sudah terlogikan dengan baik dan terperinci. Aku hanya teman baiknya. Titik. Titik. Aku menekan tanda titik sekencang mungkin di pikiran dan perasaanku. Pikiran dan perasaanku berdenyut keras. Ada peperangang di dalam sana.

Kuakui kadang-kadang hatiku sakit karena aku menanggung penderitaan ini sendirian. Hidupku tak terarah, cita-citaku terabaikan, sempurna sudah. Aku adalah makhluk Tuhan paling malang, tak bergairah, tertolak, dan tak bercita-cita. Jika hatiku perih aku akan menulis di selembar kertas:

Haruki aku bersumpah aku akan melupakanmu segera setelah kamu pulang ke Jepang. Kamu menghabiskan waktuku. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu.

Kuremas kertas itu. Kubuang ke tong sampah secepatnya agar Ken Dedes, Asma, atau Mei tak bisa membacanya. Aku tak sudi harga diriku hancur sekali lagi di mata mereka.

"Bedebah," aku mengutuki diri sendiri. Aku harus keluar secepat mungkin. Aku harus meneruskan cita-citaku. Aku harus...

Hari ini pun berakhir dengan membiarkanku seperti ikan yang menggelepar di jaring nelayan. Aku butuh nafas. Aku butuh ruang. Aku butuh lautku. Tujuanku.

AWAN DALAM GELASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang