SAKIT

2 0 0
                                    

Alam semesta berputar dalam tatanan teratur. Berputar indah dan melakukan gerakan tarik menarik dalam matahari menuju kurun waktu yang tak pernah kita duka. Kenyataannya semua semu. Waktu 24 jam sehari itu juga semu. Ahli astronomi telah lama menyelidiki bahwa sehari kita sebenarnya hanyalah 23 jam 56 menit 4,0906 detik. Tak sampai dua puluh empat jam. Hanya saja alam memiliki dua harmoni tinggi rendah yang melengkapi. Kekurangan waktu itu tertimbun pada satu hari paling istimewa, 29 Februari di tahun kabisat. Cara manusia mengakali kekurangan mereka agar mereka dapat merasa bahwa dunia berjalan tetap dan teratur. Agar semua hal dapat memudahkan hidup yang berjalan. Satu ketidakteraturan di muka bumi akan berakibat fatal. Di era yang serba teratur ini. Kekacauan akan berdampak ke semua sistem kehidupan. Kekacauan waktu akan enbingungkan perhitungan di dalam komputer perbankan yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi.

Kekacauan juga dapat menghancurkan alam semesta. Seandainya gaya tarik menarik sesama planet bergoyang sedikit saja. Posisi bumi berubah. Cahaya matahari berubah. Atau ketika tiba-tiba matahari tak menarik kita sama sekali. Kita tak tahu apakah manusia akan berwujud serupa manusia. Atau mati sia-sia. Atau perumpamaan paling sederhana, kesalahan lankah pada seorang tukang jamu akan menggulingkannya di pagi yang sunyi. Seluruh dagangannya pun berserak entah ke mana. Ia pun meratap seharian penuh menangisi kecerobohan.

Ketidakteraturan meracau menembus ke satu tubuh yang tak bisa berfungsi seimbang di dunia manusia. Beban yang terlalu banyak, ambisi, dan perasaan kosong adalah racun dalam kehidupan manusia. Kekacauan serupa itu terus melanda siapa saja yang lengah termasuk Ken Dedes. Bermasalah dengan keluarga, berat badan, dan cita-cita sekaligus.

Hari pelaksanaan seminar internasional semakin dekat. Nafas Ken Dedes semakin sesak. Satu-satunya kesempatan besar bagi ia yang belum pernah menginjakkan kaki di negeri orang seakan tampak semakin semu. Menjadi semakin menyedihkan ketika ia menyadari bahwa ia tak akan pernah berkumpul dengan ahli-ahli fisika partikel lain.

Ken Dedes tak bisa mengontrol dirinya lagi. Percuma ia memaksakan diri untuk tersenyum. Toh, ia sedang berkabung. Semuanya tampak salah di matanya. Tubuhnya yang teralalu gemuk, hubungan keluarga yang remuk, serta harapan yang nyaris pupus. Ken Dedes semakin tak terkontrol.

Sejak Ken Dedes berniat diet ia tak mengunyah nasi sama sekali. Niat diet Ken Dedes benar-benar dijalankannya. Pertanda ia sudah murka dikatai gendut. Pasokan energi turun drastis. Ditambah lagi di situasi saat ini, seharusnya ia memasok energi sebanyak mungkin. Lambungnya menggiling benda-benda tak berarti. Syarafnya sekarat. Mengap-mengap serupa orang hampir tenggelam. Sebagian memikirkan tubuh. Sebagian lagi patah empat memikirkan cara berdamai dengan kakaknya. Sebagian besar syaraf lain tersedot untuk penelitian.

Penyerapan energi besar-besaran tak sebanding dengan persediaan yang ada. Jantungnya megap-megap kekurangan oksigen. Menekan dengan kencang. Darah yang keluar tak sukses mengikat mineral dan vitamin. Ditambah kebiasaan buruk bergadang hingga malam. Pertahanan tubuhya melemah: ia sakit secara psikologis dan kesehatan.

Sembilan hari lagi. Tubuh itu panas. Tubuh yang tak diperhatikan pemiliknya memberontak.

"Dedes?" Aku terkejut melihat tubuh itu menggigil. Tak kuat lagi melakukan gerakan apa-apa.

"Aku..gak..bisa apa-apa?" ujarnya lemah.

Sedari kemarin ia memang sudah mengeluh sakit.

"Ke rumah sakit ya Des?"

"Enam hari lagi Min. Enam hari lagi. Ia mulai mengigau."

"Asmaaaa!! teriakku."

Baru wajahnya keluar. Aku segera memberondong dengan kata-kata.

"Pinjem uang kamu dulu. Kita bawa Dedes ke rumah sakit."

"Panggil Mei, minta bantuan dia untuk menyiapkan barang-barang Dedes. Aku panggil taksi."

"Aku gak bisa apa-apa..." Dedes mengigau lagi.

"Aku gak bisa apa-apa Min."

"Kamu harus lanjutkan cita-cita ibu kalau aku pergi."

"Kamu gak boleh pergi seperti aku, Min. Gak boleh."

Bayangan itu berkelebat lagi di pikiranku. Arggghhh!! Tuhan sampai kapan? Aku mempercepat langkah ke luar kos. Sampai kapan? Pedih itu akan benar-benar pergi. Sampai kapan aku harus menlihat orang-orang putus asa di kehidupanku?

"Ayah gak akan mengubah keputusannya."

"Aku gak bisa menghidupkan harapan ibu."

"Aku gak bisa apa-apa."

Aku mencari taksi. Menfokuskan pikiranku.

***

"Biar aku yang menunggui Ken Dedes malam ini, kalian pulang saja," Mei menyeruput jus alpukat di kantin rumah sakit.

"Tapi kan besok kamu mau pergi ke Komodo?" selidikku.

"Iya, aku udah packing kok. Tenang aja. Besok Asma atau kamu bisa menjaganya bergantian kalau belum ada keluarganya yang datang," Asma kembali menyeruput jus alpukatnya.

"Sebisa mungkin kita harus meminta Ken Dedes untuk fokus ke kesehatannya dulu, dia terlalu stres," ujarku.

"Dia kenapa sih?" Asma menyelidik.

"Banyak masalah. Yang paling besar adalah memikirkan ongkos untuk ke Korea."

"Tabunganmu cukup gak Ma?" Mei menatap Asma.

"Kalau sebanyak itu, ya gak ada. Apalagi barusan udah dipakai untuk jaminan rumah sakit."

"Ya sudah. Nanti biar aku yang menghubungi orang tuanya," aku menjawab lemah. Kuambil tasku menjauh pergi.

Kepalaku benar-benar pusing. Bedebah. Kesakitan yang sama berkelebat lagi. Kali ini dadaku sakit.

"Aku gak bisa apa-apa"

"Aku gak bisa apa-apa Min."

Aku mempercepat langkah kakiku. Bajingan kalian semua. Bajingan. Kenapa harus aku? Kenapa? Aku memegangi kepalaku. Menyetop angkot dan duduk seperti orang dikejar hantu.


AWAN DALAM GELASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang