MUNGKINKAH #2

8 0 0
                                    


"Jangan kuliah terlalu tinggi Des, perempuan yang terlalu pintar itu susah dapat suami."

"Lebih baik kamu menikah dulu, setelah itu baru S2"

"Aku aja gak lanjut S2. Soalnya di Bugis anak perempuan yang sekolah terlalu tinggi akan susah dapat suami."

Ken Dedes menghirup nafas. Di depan matanya berjalan layar film mengenai kehidupannya. Tentang perbedaan pendapatnya dengan orang-orang sekitar. Dengan teman. Dengan ayah. Dengan ibu. Dengan kakak. Ia merasa lelah. Adegan saat ia mengetahui Teh Evi, kakaknya, iri padanya karena ia bisa kuliah di UI, sedang berputar.

Apa yang dia irikan? Saat Teh Evi berkuliah dia dibiayai penuh oleh orang tua. Tapi aku, aku membiayai hidup sendiri.

Sejak Ken Dedes mengetahui Kang Maman membiayai kuliahnya karena ia telah terlibat perjanjian dengan ibunya. Ken Dedes meminta Kang Maman untuk tak mengiriminya uang lagi. Cukup sudah. Ia mampu hidup sendiri. Biar sekalian dirinya yang tak pernah dianggap dalam keluarga, tak usah pula merepotkan keluarga. Ken Dedes sudah kenyang dengan penderitaan. Harus melawan ayahnya hanya karena ingin sekolah? Salah paham dengan kakak sendiri. Gagal meraih beasiswa ini itu. Pontang-panting mencari uang sendiri? Dibenci oleh kakaknya sendiri? Apalagi?

Lagipula keluarga macam apa yang tak melibatkan semua anggota dalam urusan keluarga?

"MUNGKINKAAAAAH KITA KAN SELALU BERSAMA WALAU TERBENTANG JARAK ANTARA KITAAAAAAAAAAAA," Nada menggema.

Pertanda lagu mendekati irama pada lirik yang bernama reff

"Untuk S2 minimal skor Toefl IBTnya 80 Des."

"Oh, gitu ya Kak."

"Semangat ya Des. Nanti kalau ada apa-apa hubungi kakak aja. Kakak pasti bantu kamu."

***

"Maudy ngomong di rumah sama sekolah bahasa Inggris ya?"

"Iya kak. Mama sama Papa memang ngomongnya pakai english. Di sekolah juga kecuali pelajaran bahasa Indonesia."

"ooo."

***

"KAU KUSAYANG SLALU KUJAGAA. TAKKAN KULEPAAASS SLAMANYAA."

Lagu itu meliuk mencapai puncaknya. Diam.

"Argghhhhhhhhhhhhh!" Kepalanya berdenyut. Siapa bilang bernyanyi dapat menghibur hati? Dedes terdiam. Ia bangkit menatap cermin. Memutar-mutar tubuhnya.

"Masih bulet," bisiknya.

Komentar-komentar orang seputar tubuhnya yang gendut menambah-nambah daftar kemungkinan hubungan arus pendek di otak. Korslet yang awalnya hanya terjadi di beberapa sel syaraf yang terkelupas, kini berniat merambah ke syaraf-syaraf yang lain. Awalnya ia biasa saja. Tapi, kalau tiap berpindah tempat sedikit dikatakan gendut, hatinya sakit juga. Belum lagi orang Indonesia raya ini yang kalau bertemu akan dengan senang hati menyapa dengan kata sapaan yang menohok. Bahkan teman yang sekali dua kali bertemu dapat menjelma menjadi monster di pertemuan yang hanya sekali dua kali itu.

"Eh, Ken Dedes, Apa kabar? Sekarang gendutan ya?" Rani senyum-senyum dan pergi seperti orang tak bersalah. Kepala Ken Dedes bertambah sakit.

Andaikan dalam sejam Ken Dedes bertemu tiga orang maka selama masa bersosialisasi yang kurang lebih menghabiskan waktu 12 jam sehari itu, total komentar berat badan ada 36.

Ini baru untuk orang yang berbadan gemuk. Untuk orang yang belum kawin tentu teror muncul dalam bentuk berbeda. Pertanyaan semisal "kapan kawin?" pun meluncur seenaknya.

Nah, untuk orang yang telah kawin pertanyaan selanjutnya adalah," kapan punya anak?" Diucapkan dengan nada ramah seolah-olah sudah biasa. Bagaimana kalau pasangan yang menikah itu memang tak bisa memiliki anak? Bagaimana kalau mereka sudah setengah gila karena memikirkan 1001 cara untuk punya anak? Pertanyaan basa-basi untuk beramah-tamah segera menjelma menjadi lengkingan dan kutukan nenek sihir.

Ingin rasanya Ken Dedes bertemu Aristoteles dan meminta ia menambah pernyataan mengenai manusia adalah makhluk sosial. Dan Makhluk sosial adalah makhluk yang kejam. Manusia kadang menghukum manusia lain lebih kejam dari Tuhan.

Apa tidak ada pertanyaan lain semisal,"suami kamu segar bugar ya, apa rahasianya?"

Nah, kalau pertanyaan seperti itu orang yang ditanya pun pasti akan menjawab dengan sepenuh hati," Setiap hari suami saya itu makan sayur mayur 39 kg per hari. Pagi, siang, sore, dan malam. Selain murah, juga segar."

Atau pertanyaan, "Ken Dedes kamu semakin ceria saja, apa rahasianya?"

Ken Dedes pun dengan senang hati menjawab,"rahasianya adalah jangan buang air di dalam celana."

Untuk perempuan lajang semacam Ken Dedes komentar terbanyak adalah komentar mengenai seputar tubuh. Komentar jodoh muncul sekali-kali. Frekuensi pertanyaan seputar jodoh, biasanya, semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah semester di kampus. Hal ini cukup membuat Ken Dedes gelisah dan mulai melihat ukuran tubuhnya tidak ideal. Terlebih lagi karena ia perempuan, tentu saja.

"Yasmiiiiiiiiiiiin!" Ken Dedes berteriak begitu mengetahui kedatangan Yasmin ke kos.

"Aku pingin kuruuuuuuss," teriaknya.

"Aku pingin GEMUUUKKK," balas Yasmin tak kalah kencang.

Yasmin dan Ken Dedes adalah dua ekor merak yang menyadari bahwa keinginan mereka terperangkap di tubuh berbeda. Angka sepuluh adalah angka yang benar-benar tepat untuk menggambarkan Yasmin dan Ken Dedes jika mereka berjalan beriringan. Angka satu untuk Yasmin. Angka nol untuk Ken Dedes. Yasmin yang kurus kering namun cantik (meski kecantikannya baru berumur setahun) itu amat mendambakan gemuk yang berada di tubuh Ken Dedes. Maklum, Yasmin juga tak tahan setiap kali teman-temannya mengkritik-kritik bobot tubuhnya yang tak bergerak dari angka 41 kg dengan tinggi 160 cm.

Ah, menyebalkan. Ini semua kesalahan dunia entertaintment. Mereka yang mengajarkan sosok-sosok perempuan ideal. Langsing, elegan, dan enak dipandang. Tak sadarkah mereka bahwa perempuan lain tersiksa dengan kesepakatan bersama ini. Mengapa kita tidak bisa berpikir merdeka seperti orang pedalaman dayak, misalnya. Orang paling cantik adalah mereka yang bertelinga panjangan karena dijejali anting dengan berat berkilo-kilo. Atau orang Cinta kuno yang menganggap bahwa perempuan cantik adalah mereka yang berkaki kecil sehinggap para gadis berebut untuk mengecilkan kaki mereka. Sepatu-sepatu mungil pun berjejalan di kaki yang terlalu besar. Menyiksa bukan? Ya, pemaksaan konsep cantik itu sangat menyiksa. Harusnya biarkan saja semuanya Raflessia arnoldy terkenal karena bau busuknya. Biarkan pula mawar terkenal karena harumnya. Seperti kata Paulo Coelho: manusia adalah makhluk yang berbeda dan hendaknya tetap dibiarkan seperti itu.

"Apa aku diet aja ya Min?" Kata Ken Dedes.

Yasmin diam. Selama ini mereka hidup bahagia. Tak mengkritik satu dan lainnya (sebenarnya banyak kritikan, tapi tidak berpotensi menimbulkan perang dunia III). Dunia baik-baik saja. Kenapa sekarang ia jadi ikut-ikutan berpikir bahwa tubuhnya bermasalah?

Yasmin mulai merasakan bahwa ia akan benar-benar sempurna bahwa ia juga akan terlihat menarik jika badannya dapat bertambah gemuk sedikiiiiiiiiiiit lagi. Ia pasti akan semakin percaya diri di depan semua orang, termasuk Shinsuke. Entah kenapa belakangan Yasmin merasa ia tidak berarti apa-apa di depan Shinsuke.

Ayo dong Min. Senyum seperti biasa. Jadi diri sendiri sepenuhnya.Persetan dengan orang lain.

Yasmin menarik nafas.

Senyum Yasmin mengembang, tapi tak tulus.

***

AWAN DALAM GELASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang