KAMAR 18

8 1 0
                                    

Lelaki Lampu

Puisi ini masih menulisi dirinya sendiri

sampai entah kapan dalam doa-doamu

malam diliput lengang

aku bicara pada lampu-lampu yang lugu

tentang kau, tentang rumah, tentang

hadiah yang akan kubawa dari kota

Asma terdiam sejenak. Membaca sekilas puisi di depan monitor laptop. Menarik-narik nafas dari rongga dadanya. Mengumpulkan perasaan lega yang semakin tercerabut dari diri. Kehidupan semakin tak menentu.

Ia mulai memutar-mutar beberapa kejadian dalam kepala. Yasmin yang sibuk dengan proyek menjadi putri raja, Ken Dedes yang berkutat dengan fisika sambil menjalani beberapa pekejaan sampingan untuk membiayai kuliah, serta Mei yang selalu berapi-api saat menceritakan penjelajahan menuju pelosok Indonesia.

Lalu ia? apa yang sedang ia lakukan? membuat puisi? atau hanya mengisi jiwa-jiwa retak dan kosong di dalam relung hatinya. Andai perempuan bernama ibu itu tak meninggalkannya ketika ia baru lahir. Haruskah ia menyalahkan ibunya yang meninggalkan rumah di saat ia masih bayi?

Ia menatap cermin. Bukan tubuh yang menarik, agak kurus meski tak terlalu, kacamata tebal, dan kekakuan. Itulah dirinya. Mungkin hal itu yang membuat ia harus menelisik semak-semak untuk sekadar mengerti apa arti cinta? Adakah lelaki baik di dunia ini? Ah, mungkin tidak.

Tak ada laki-laki sehebat ayah yang telah membesarkan Asma dengan kepalan tangan. Menutupi kehadiran perempuan bernama ibu yang tak pernah muncul dalam jiwa kehidupannya. Ayah yang bisa menidurkannya dengan nyanyian serupa ibu. Di saat yang lain, ayah membelanya dengan kekuatan sang perkasa.

Ayah. Begitulah Tuhan mencipta kehidupannya. Di tangan lelaki tua nan bersahaja. Lelaki yang melengkapi hidupnya. Menaruh jiwa di sanubarinya. Mei tumbuh menjadi perempuan dengan racikan tangan lelaki. Menjadi perempuan yang tak terlalu peduli pada keperempuanannya. Hidup adalah belajar dan belajar serta rangkaian puisi. Begitulah cara ia mengukir senyum di wajah lelaki tua di sana. Lelaki itu akan tersenyum bahagia bila Asma mengabarkan bahwa nilai-nilai di bangku kuliah baik-baik saja. Atau ketika ia mengabarkan bahwa puisinya telah menang di salah satu lomba.

Tapi, belakangan lelaki tua itu mulai rajin menghubunginya dan menasihati Asma untuk mencoba menjalin hubungan dengan pria. Agaknya lelaki tua itu sadar bahwa ada satu hal yang tak pernah ia ajarkan pada Asma. Tentang bagaimana ia harus menyentuhkan gadis kecilnya tentang makna akan cinta.

Ah, sungguh rumit. Semakin rumit. Di usia sedewasa ini cinta tak cukup ditakar dengan kekaguman serupa remaja yang baru beranjak dewasa. Asma membutuhkan makna serta kebersahajaan. Semurni cinta itu sendiri. Ia ingin memandang cinta seperti ia memandang puisi. Sejatinya cinta itu indah. Asma hanya tak mengerti kenapa kadang manusia menjadikannya sebagai kisah yang menyedihkan. Semakin menjasi sulit untuk dirinya.

Berkali-kali Asma mencoba menggoreskan penanya untuk melukiskan cinta. Ia tak mampu. Ia pun mencoba menuangkan melalui puisinya. Aneh! Puisi itu seakan tak berjiwa. Asma menggoreskan pena hati dan pikirannya ke sana ke mari. Coretan yang ia hasilkan semakin kabur, suram, tak terbaca. Asma tak menemukan jiwanya di coretannya sendiri. Puisinya tak jadi. Puisinya tak mampu menggetarkan dawai-dawai pujangga cinta. Asma berhenti. Ia diam.

Percakapan dengan ayah telah membawa gelisah bagi Asma yang tak pernah menganggap bagian itu penting dalam hidupnya. Namun, sejak percakapan antara ia, Ken Dedes, Yasmin, dan Mei juga mulai menyinggung-nyinggung hal ini, Asma menjadi berpikir dua kali. Yasmin belakangan juga rajin menceritakan Shinsuke, teman barunya asal Jepang. Ken Dedes tak jarang mengumbar cerita mengenai senior-senior pria yang turut membantu riset perempuan Garut itu. Mei juga memiliki banyak teman pria berkat hobi backpacker yang dilakoninya setiap liburan. Asma seakan hendak berdoa agar tak satupun temannya itu mendapatkan teman pria. Agar nasib mereka sama. Atau setidaknya ia akan berhasil menemukan pria bersama dengan teman-temannya. Harapan yang ia tahu sangat muskil diwujudkan.

"Asma! Jadi ikut gak?" Gelegar suara Mei memecah perenungan.

"Ah, ya, tunggu sebentar," Asma menutup laptopnya begitu saja. Menyisir rambut lalu menyambar tas.

"Cie, Asma belanja. Ehm. Ehm," Ken Dedes yang sedari tadi telah bersiap tak tahan berkomentar. Asma telah menjelma menjadi makhluk Tuhan yang membangkang hukum-hukum kehematannya sendiri. Mungkin hari ini ia hendak melupakan paham yang menganggap segala kemewahan, termasuk belanja, adalah ajaran sesat.

Yasmin, Ken Dedes, Asma, dan Mei hari ini berencana pergi ke Cloms, menemani Asma belanja. Asma yang telaten menabung itu tentu tak pernah kesulitan uang. Yasmin sering bermimpi memiliki tabungan seperti Asma. Dengan tabungan sebanyak itu tentu Yasmin tak usah teriak-teriak sekarat di akhir bulan. Yasmin akan memiliki setidaknya satu atau dua koleksi baju-baju dengan brand ternama. Yasmin akan membeli gelang idamannya.

Yasmin menatap dandananya sekali lagi di cermin. Memastikan bahwa ia tak akan keluar dengan gaya yang memuakkan. Yasmin keluar dari kamarnya.

"Cie, Yasmin. Ehm..ehm. Princess," Asma menyoraki.

"Weeeleeh, kamu mau kencan sama siapa Min?" sindir Mei.

Yasmin hanya tersenyum bangga mengetahui bahwa perubahan yang ia lakukan mampu menggebrak komentar dari teman-temannya.

"Cie, baju baru."

"Tapi, jangan lupa. Utang dibayar bulan depan ya ha ha ha," seloroh Ken Dedes.

"Iye,iye. Tenang aja."

Keparat. Bercanda sih bercanda. Tapi, janganmempermalukan di depan umum begini.

AWAN DALAM GELASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang