Malam berganti pagi, bulan sudah berganti dengan matahari, dan warna hitam di langit sudah berganti menjadi warna putih. Namun, kesedihan di wajah Retta belum juga berganti.
Dengan mata yang sembab Retta melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Dia ingin pergi dari tempat ini menuju rumah orang tuanya. Dia sangat tertekan dengan perlakuan Arven, takut-takut kalau Arven memulai kembali pertengkaran mereka yang semalam belum bertemu titik penyelesaiannya.
Retta berhenti sebentar, tatapan mata wanita itu menyapu ke segala sudut ruangan. Dadanya terasa lega begitu dirinya tidak menemukan keberadaan Arven. Dia mengeratkan tasnya lalu berjalan kembali menuju pintu depan untuk melanjutkan niatnya.
Namun, seketika Retta berhenti karena merasakan tubuhnya dipeluk seseorang dari belakang. Tubuh Retta menegang begitu pelukan itu semakin erat. "Jangan pergi ...." Suara lembut itu tepat dari belakangnya. Suara yang Retta sangat kenal, siapa lagi kalau bukan suara Arven.
Retta tidak menjawab,tangan wanita itu terangkat untuk melepaskan tangan Arven dari perutnya. "Gue enggak mau dipeluk sama lo!" ucap Retta tajam, napas wanita itu semakin tercekat begitu dirinya mengingat kembali pertengkaran semalam.
Seharusnya pelukan itu semakin mengendur, tetapi begitu mendengar ucapan itu membuat Arven semakin mengencangkan pelukannya, sampai-sampai Retta tidak bisa bernapas normal. "Gue ga bisa napas, bodoh!" umpatannya kesal. Mendengar itu membuat Arven langsung melepaskan pelukannya dan memutar balikan tubuh Retta menghadapnya.
Kedua tangan Arven memegang bahu Retta dan kedua pasang mata pasangan itu saling bertatapan. "Maafin aku Retta ... Maaf semalam aku kehilangan control . Seharusnya aku enggak menampar kamu seperti itu," ucap Arven memohon.
Apalagi yang Arven dapat lakukan selain memohon untuk mendapatkan maaf dari Retta? Tidak mungkin juga dirinya kembali mengeluarkan emosinya dan kembali memaksa Retta untuk memaafkannya, kalau dengan cara itu bisa-bisa Retta akan semakin marah padanya. "Hmm ...." gumam Retta sambil membuang pandangannya dari Arven, dia tidak bisa terlalu lama memandang Arven seperti tadi.
Tangan Arven mengelus pipi Retta. "Masih sakit pipinya?" Retta menggeleng lalu mata Arven menatap mata Retta, "mata kamu sembab, kita ke rumah sakit ya?"
Retta langsung menepis tangan Arven dari wajahnya. "Engga perlu," jawabnya
Arven mendengus pelan, entah dengan cara apa dia meluluhkan hati Retta untuk memaafkannya. "Udahlah, gue mau pergi dulu," ucap Retta memutuskan pembicarannya dengan Arven.
"Mau ke mana lagi?"
"Ke rumah Mama."
"Sebentar ya, aku ambil kunci mobil dulu."
Kedua mata Retta membulat sempurna. "Hah?mau ngapain? Lo ke kantor aja sana."
"Aku udah minta sekertaris aku untuk mengantikan aku hari ini. Yaudah aku ambil kunci mobil dulu ya, Sayang." Setelah itu Arven masuk ke dalam kamar meninggalkan Retta yang tengah menatapnya dengan tatapan tidak suka. Dia benci Arven, selamanya.
Bersambung....
VOMEN....
Salam,
TheDarkNight_
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Dress
Teen Fiction"Kamu kenapa milih warna gaun yang gelap?" tanya Arven dengan tatapan lurus ke depan. Retta mengangkat bahunya acuh. "Untuk menggambarkan keadaan gue nanti saat sama lo," ucapnya sarkastis. Arven tersenyum lalu mengusap puncak kepala Retta. "...