Retta mengambil tasnya cepat, dia bangun dari duduknya dan segera meninggalkan tempat ini dengan langkah yang cepat. Tidak peduli jika Terra tidak ada yang menjaga, biar mati sekalian. Retta melangkahkan kakinya menuju pintu depan sana, dia ingin pergi saja karena dia benar-benar tidak kuat dengan keadaan seperti ini.
Dia ingin pergi ke rumah Lani karena kalau dia pergi ke orang tuanya bisa-bisa masalah ini semakin besar dan rumit, dia tidak ingin itu terjadi. Menurutnya, rumah Lani jauh lebih baik. Wanita itu bagaikan menyejuk di dalam kehausan, dia dapat memberikan solusi disaat Retta mendapat masalah.
Sesampainya di depan sana, Retta langsung memberhentikan taksi dan bergegas pergi. Dia tidak tahu apakah Lani ada di rumah apa tidak, tetapi yang jelas dia harus ke rumah Lani terlebih dahulu. Tidak masalah apabila menunggu wanita itu, sampai malampun dia siap menunggunya karena masalah yang tengah dia hadapi sangat parah.
.
"Gue sakit hati Lan ... dia benar-benar buat gue kecewa! Seharusnya dia minta persetujuan gue dulu ... tapi ini enggak!" ucap Retta dengan serak. Mata wanita itu memerah, air mata sudah turun sedari tadi, dan hati wanita itu masih terasa sesak hingga detik ini.
Lani mengusap bahu Retta, memberi ketenangan di sana. "Iya Arven salah, tapi lo juga salah Ret. Dia berhak melakukan apa aja, itu hati dia bukan hati lo, lagi juga mungkin menurutnya itu yang terbaik. Lo enggak boleh egois kaya gini," ucap Lani memberikan pencerahan.
"Gue tahu, tapi gue khawatir Lan. Gue khawatir," ucap Retta disertai dengan air mata yang cukup deras. Lani menghela napas, dia tau Retta memang keras kepala, semua kemauannya harus dituruti kalau tidak dia akan memberikan berbagai alasan agar kemauannya dituruti.
Lani membawa Retta ke pelukannya. "Lo khawatir dan juga cemburukan?" bisik Lani pelan. Retta yang berada di pelukan Lani langsung membulatkan matanya, bahaya kalau Lani tahu, bisa turun harga dirinya.
"Gue cuma khawatir dibilang!"
Lani tertawa pelan, dia melepaskan pelukannya lalu menatap Retta dalam. "Ret, Arven melakukan yang terbaik dia menolong hidup orang lain, meskipun kita tidak tahu wanita itu siapa. Kita harus positif thingking aja, semoga tidak ada efek samping untuk Arven."
Retta mengelap air matanya. "Terus sekarang gue harus apa?"
"Diam di sini. Tunggu sampai Arven menjemput lo."
.
Lima hari berlalu, Retta masih berada di rumah Lani. Hanya lima hari saja cukup membuat Retta benar-benar seperti mayat hidup. Wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang lemah. Semua ini disebabkan oleh Arven.
Ya, pria itu belum juga menjemput Retta di rumah Lani, walaupun Lani tidak mengucapkan kalau Retta ada rumahnya, namun tetap saja Arven seharusnya mencari Retta. Lagi juga yang membuat Retta semakin down adalah jangankan untuk mencari dirinya, menghubungi dirinya saja juga tidak.
"Makan dong Ret, sampai kapan enggak mau makan?" ucap Lani sambil memegang sendok yang berisi makanan. Dia ingin menyuapi Retta, namun wanita itu masih saja menolak.
"Enggak nafsu makan," ucap Retta dengan pandangan yang redup. Lani menghela napas berat, susah juga mengurusi bayi dewasa seperti Retta ini. Lani menaruh piring di meja, bersamaan dengan layar ponsel Retta yang menyalah. Buru-buru Lani membacanya, Lani tersenyum, Arven menghubungi Retta.
"Nih, ada pesan dari Arven," ucap Lani sambil menyodorkan ponsel itu kepada Retta. Mata Retta langsung membesar melihat nama Arven terpampang di layar itu, Retta langsung membuka pesan itu dan membaca pesannya berdua dengan Lani.
ARVEN PRATAMA
Retta
Ret
Retta
Ret
Kamu di mana?
Kamu keterlaluan ya!
"Tuhkan gue bilang, pasti Arven nyariin lo Ret. Lo nya aja yang kebaperan," ucap Lani sehabis membaca pesan itu. Retta terdiam tangannya bergerak untuk mengetik, namun belum sempat dia mengirim pesan itu, pesan dari Arven kembali masuk.
ARVEN PRATAMA
Retta
Ret
Retta
Ret
Kamu dimana?
Kamu keterlaluan ya!
Meninggalkan Terra sendirian!
Regard,
TheDarkNight_
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Dress
Teen Fiction"Kamu kenapa milih warna gaun yang gelap?" tanya Arven dengan tatapan lurus ke depan. Retta mengangkat bahunya acuh. "Untuk menggambarkan keadaan gue nanti saat sama lo," ucapnya sarkastis. Arven tersenyum lalu mengusap puncak kepala Retta. "...