Sudah beberapa hari berlalu, mereka berdua sudah kembali ke rumah mereka yang berada di Jakarta, rutinitas sudah kembali menyibukkan mereka, ralat, ralat, bukan mereka tapi hanya Arven. Kalau Retta, wanita itu hanya berdiam diri di rumah, tidak melakukan apa-apa selain menonton film dan bermain ponselnya, tetapi tidak masalah untuk Arven sangat lebih baik Retta seperti ini dari pada seperti dulu.
Hari ini adalah hari Minggu. Sebenarnya mau hari Minggu ataupun hari biasa Arven seharusnya tetap bekerja di kantor, namun Retta sedari malam sudah memaksa dirinya untuk tetap di rumah. Retta ingin pergi ke sesuatu tempat, bosan hanya berdiam diri di rumah katanya. Arven sudah menolak permintaan itu, namun Retta mengancamnya dengan ancaman dia akan pergi ke tempat itu sendirian. Bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya, Arven hanya mengangguk menyetujui.
Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil. Arven yang tengah sibuk mengendarai kendaraan dan Retta yang tengah sibuk memeriksa semua data Arven di ponselnya milik pria itu. Mulai dari obrolan Arven di media sosial sampai memeriksa jumlah tabungan Arven.
"Arven ...." panggil Retta dengan pandangan yang masih menatap lurus ke layar ponsel.
Arven menatap singkat Retta lalu kembali fokus menatap ke depan. "Kenapa?" tanyanya.
"Transfer uang kamu ke rekening aku ya?"
Arven melirik Retta lalu mengangguk. "Iya"
"Berapa?"
"Terserah"
Retta menatap Arven dengan senyuman yang mengembang. Dasarvperempuan sama aja. "Setengahnya boleh ga?"
"Boleh. Kalau mau semuanya juga ga masalah, aku cari uang buat kamu Ret."
"Oke deh semuanya aja ya. Lagi juga kamu masih punya sedikit uang di bank lain kan, Ven?"
"Iya Sayang."
.
Cafe yang terletak tepat di pinggir jalan ini menjadi tempat persinggahan mereka,setelah kelelahan sehabis bermain pasir di pantai mereka berdua memutuskan untuk istirahat sejenak di tempat ini. Cafenya tidak terlalu besar, namun suasana di cafe ini benar-benar kondusif tidak ramai seperti cafe-cafe di Jakarta pada umumnya. Sehabis dari sini rencananya mereka berdua akan langsung bergegas pergi ke Bandung, Retta ingin menginap semalaman di sana.
"Retta udah ya sayang, kita udah menjelajahi berbagai tempat hari ini. Sehabis ini kita pulang aja ya," ucap Arven dengan memandang lurus ke depan. Di dalam hati pria itu berdoa semoga kali ini Retta tidak keras kepala.
Retta menghentikan sendok yang sebentar lagi masuk ke dalam mulutnya. Dia meletakan kembali sendok itu ke piring dan menatap Arven tajam. "Bilang aja kamu mau ngurusin pekerjaan kamu. Emang ya ternyata kamu sama pria yang di novel-novel sama aja, selalu sibuk dengan pekerjaan. apasih yang membuat kamu semangat akhir-akhir ini? Sekertaris baru yang seksi itu ya!" ucap Retta dengan nada berapi-api. Helaan keluar begitu saja dari mulut Arven, Arven selalu sabar dalam menghadapi Retta.
Arven memandang lurus ke arah mata Retta, tangannya bergerak untuk mengengam tangan Retta. "Ret, dengerin aku. Aku sibuk dipekerjaan aku karena aku mau membuka cabang perusahaan baru di luar negeri sana, aku melakukan itu buat kamu Ret. Aku ga mau kamu merasa kekurangan saat hidup dengan aku. Itu semangat aku Ret, untuk kamu." Retta hanya diam, kalah dia, kalah telak! Kalau sudah begini Retta bisa apa selain diam.
Arven tersenyum dia mengusap puncak kepala Retta menghapuskan kecanggungan diantara keduanya. "Masih mau ke Bandung?" Retta masih diam, namun matanya menatap Arven.
"Yaudah ayo, aku ambil mobil dulu ya di seberang sana. Kamu tunggu disini ya." ucap Arven sambil berdiri.
"Ikut."
Arven menarik tangan Retta lembut, "Yaudah yuk."
Mereka sama-sama keluar dari cafe itu, Arven memandang mobilnya yang berada di seberang sana, namun ada sesuatu yang mengalihkan pandangan Arven. Wanita itu menatap Arven dengan tangan yang bergerak di udara, seakan menyapa dengan gerakan tangan itu. Arven mendekat, wanita itu juga mendekat, sayangnya belum sempat mereka bertemu ada sebuah mobil yang langsung menabrak wanita itu. Arven langsung melepaskan gengaman tangan Retta dan berlari menolong wanita itu, meninggalkan Retta yang mematung jauh di belakangnya.
.
"Terra pleasee bangun ... Ter ... please!" ucap Arven di samping wanita itu yang masih belum bangun sampai sekarang. Arven sangat shock bagaimana tidak? Kejadian itu terjadi tepat di depan mata kepalanya sendiri. Arven terus saja mengucapkan seperti itu, sedangkan Retta hanya terdiam melihat Arven dari pintu sana.
CEKLEK!
Suara pintu itu mengangetkan kedua orang di dalamnya, Retta langsung menjauhkan dirinya dari pintu. Dokter itu masuk ke dalam dengan memakai jas putih kebanggaannya. "Keluarga dari pasien mana?" tidak lama kemudian, Arven dan Retta langsung bergegas mengikuti sang dokter ke ruangannya.
"Kita butuh pendonor hati secepatnya."
"Donor hati? Dia kecelakaan dok!"
Dokter itu duduk di kursinya dan mempersilahkan Arven dan Retta duduk di hadapanya. "Dia koma bukan karena kecelakaan itu, tetapi penyakit sirosis. Sirosis stadium akhir butuh pendonor secepatnya, kalau tidak nyawanya tidak akan tertolon, " jelas sang dokter.
"Hati saya dok! Ambil hati saya!" setelah mendengar itu sontak Retta langsung memandang Arven, wajah pria itu sangat serius. Retta hanya diam, dia tidak mengerti apa-apa. Apa hubungannya suaminya dengan Terra.
"Anda serius?"
"Saya serius!"
"Mari ikut saya, kita akan melakukan pengecekan." sang dokter dan juga Arven langsung pergi dan meninggalkan Retta yang hanya tertunduk lesu.
TBC
AUTHOR NOTE
Sekian lama cerita ini terbengkalai, aku sampai lupa kalau cerita ini belum tamat.Heheheh maafkan,semoga kalian suka dan feelsnya dapat dipart ini. Komen dan Vote selalu ditunggu...
Maaf yaa aku sibuk akhir-akhir ini sampai ga keingetan cerita ini wkwkw
Sibuk kok bisa update cerita yang lain Thor?
Ohh itu...Hmmm...Ga usah dibahas ya!
Jangan lupa add my line @ > @iig2421i
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Dress
Teen Fiction"Kamu kenapa milih warna gaun yang gelap?" tanya Arven dengan tatapan lurus ke depan. Retta mengangkat bahunya acuh. "Untuk menggambarkan keadaan gue nanti saat sama lo," ucapnya sarkastis. Arven tersenyum lalu mengusap puncak kepala Retta. "...