"KAK RETTA ...." teriakan gadis kecil berumur sembilan tahun. Gadis itu langsung berlari dengan cepat begitu melihat Retta berjalan beriringan bersama abangnya memasuki rumahnya.
Retta merentangkan tangannya menangkap gadis kecil itu yang tengah berlari. Gadis kecil itu langsung memeluk Retta erat, seakan melepaskan segala kerinduannya di sana. "Bintang rindu sama Kak Retta," ucap gadis kecil itu, Retta mengusap kepala gadis itu menyalurkan kasih sayangnya di sana.
"Kakak juga, Sayang. Bintang apa kabar?" tanya Retta dengan lembut. Bintang melepaskan pelukannya lalu memandang Retta sambil mengangguk.
"Baik Kak, aku udah jarang mimisan kaya dulu." Mendengar itu Retta hanya tersenyum parau. Penyakit yang diderita Bintang memang bukan penyakit yang sepele, apalagi ditambah dengan umur Bintang yang masih kecil membuat penderitaan Bintang semakin berat.
"Semangat yak, kamu pasti bisa sembuh," ucap Retta sambil mengayunkan tangannya dan telapak tangannya menganggam, seraya memberikan semangat.
Bintang tersenyum lalu Delvin datang dan menyuruh Bintang untuk segera naik ke atas. Bintang butuh istirahat, begitu katanya. Bintang mengangguk kecil menuruti perintah abangnya. Di tempat ini, Delvin dan Retta masih mematung di tempat mereka sambil memerhatikan Bintang berjalan menuju kamarnya.
"Ret ...." panggil Delvin, Retta menoleh dengan raut wajah seolah bertanya 'Apa?'
Delvin menaikkan alisnya. "Movie marathon mau? Kita nonton di ruang keluarga sampai pagi," ajaknya yang tentu saja Retta langsung mengangguk cepat,mengingat menonton film adalah salah satu kegemarannya.
"Yaudah, yuk!"
.
Arven mengacak rambutnya beberapa kali begitu melihat layar laptopnya. Di layar itu, tercetak jelas foto-foto Retta yang baru saja diambil oleh mata-matanya. Semua kegiatan Retta terlihat di dalam layar laptopnya. Retta tidak bisa bebas darinya karena dia mempunyai mata-mata tanpa Retta tahu.
Tangan Arven memencet tombol next di dalam laptopnya. Melihat foto yang baru terlihat di layar laptopnya membuat Arven membulatkan matanya sempurna. Bagaimana tidak? Foto itu mengambarkan dengan jelas saat Retta berkunjung ke rumah Delvin pada malam hari. Bagaimana kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan? Arven benar-benar tidak terima!
Baru sehari dia di Australia, tetapi masalah yang mendatangi kepalanya semakin banyak. Masalah perusahaan, masalah sahamnya, dan yang paling penting adalah masalah Retta. Dia ingin mendatangi Retta sekarang, tetapi dia sudah berjanji pada Retta agar tidak menganggu kehidupan wanita itu. Namun, bagaimanapun juga dia masih sebagai suaminya.
Tangan Arven terangkat lalu menutup layar laptopnya dengan kasar. Mata Arven langsung terfokus kepada Iphone di sebelahnya. Dia tidak akan menganggu Retta, namun kali ini dia akan menghubungi Retta. Menghubungi Retta belum tentu menganggu wanita itukan?
Istriku Tercinta
Ret...
Kamu dimana?
Setelah mengetik pesan itu, Arven menutup layar ponselnya.
Namun, tanpa diduga Retta membalas pesan Arven dengan begitu cepat.Istriku Tercinta
Ret....
Kamu di mana?
Di apartemen.
Balasannya begitu singkat dan langsung pada intinya. Namun, cukup langsung melukai hati Arven, tetapi yang lebih sakitnya, kini Retta membohonginya. Sudah cukup hari ini dia menahan amarahnya. Arven membuka kembali layar ponselnya lalu segera menghubungi seseorang,
"Stev, tolong persiapkan surat perceraian. Sekarang juga!" Arven langsung mematikan sambungan secara sepihak. Dia sangat emosi sekarang.
Bersambung.....
VOMEN...
Salam,
TheDarkNight_
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Dress
Teen Fiction"Kamu kenapa milih warna gaun yang gelap?" tanya Arven dengan tatapan lurus ke depan. Retta mengangkat bahunya acuh. "Untuk menggambarkan keadaan gue nanti saat sama lo," ucapnya sarkastis. Arven tersenyum lalu mengusap puncak kepala Retta. "...