"Jadi gitu Lan, gue bingung, gue harus melakukan apa?" tanya Retta setelah dia menceritakan semua kejadian yang telah terjadi.
Lani membetulkan posisi bantal yang berada di dekapannya, Lani menggeleng-geleng gemas dengan tingkah dan pola pikir Retta. "Pertama-pertama gue mau bilang inailahiwainailahi rojiun yang sabar ya Ret, gue tau ini emang berat buat lo, tetapi gue yakin lo bisa ngejalanin semua ini. Kedua, come on sweety lo enggak perlu buat ngambil anak di panti asuhan demi untuk membahagiakan keluarga lo Ret. Kenapa sih lo enggak mau hamil?"
Retta membuang pandangannya. "Ya bukannya enggak mau Lan, gue mau. Tapi, belum siap aja. Gue mau punya anak darah daging gue, tapi yaa ... gitu deh Lan. Lo ngertilah pasti," ucap Retta sekenanya.
Lani berdecak sebal, Retta selalu saja seperi ini. Lani jadi kasian sendiri memikirkan Arven yang selalu mendapatkan keegoisan dari sifat Retta yang masih kekanak-kanakan. "Sampai kapan Ret, sampai kapan? Lo mau Arven ninggalin lo buat cewe lain?"
Retta memandang Lani dengan alis yang naik. "Ya enggak mungkin lah Lan, andaikan gue hamil anak orang aja dia masih mau nerima. Apalagi cuma masalah itu dia kuatlah buat nerimanya dan nunggu sampe gue siap."
"Gila lo, dia kan cowo Ret cowo. Kalau gue jadi Arven gue milih cewe lain yang setia ga selingkuh kaya lo, yang lebih baik ga jahat kaya lo, dan yang mau menjalankan kewajibannya ga kaya lo yang alasan mulu. Arghhh gue gemes lama-lama sama lo Ret!"
Mendengar itu membuat Retta terpaku seketika, kata 'kewajiban' seakan terus berputar-putar di otaknya. Ya, dia baru sadar kalau dia belum pernah melakukan kewajibannya, masak buat Arven aja ga pernah apa lagi yang lain.
"Kewajiban Ret, kewajiban," ulang Lani lagi.
"Tapi gue takut Lan."
Lani memutar matanya. "Ya ampun, coba aja dulu. Kali aja baru sekali coba udah positif, gue bilang Arven sekarang ya kalau lo malu buat bilangnya. " Lani bersiap-siap untuk mengambil ponselnya, namun belum sempat benda itu terambil Retta sudah lebih dahulu mencegahnya.
"Enggak perlu Lan, gue pulang dulu."
.
"Dari mana Ret? Rumah Lani?" tanya Arven begitu melihat Retta yang baru masuk ke kamar. Retta tidak menjawab, wanita itu langsung menaru tasnya di meja rias.
"Iya Ret?" tanya Arven lagi. Retta berjalan menunggu ranjangnya dan terduduk di tepi sana, sedangkan Arven tengah menyandarkan tubuhnya di tengah ranjang sana.
"Iya ...."
"Aku udah baca chat dari Lani. Itu benar?"
Mata Retta membulat seketika, dia mengigit bibirnya berniat untuk menghilangkan semua gerogi yang memasuki dirinya. "Hmm ... iya."
"Benar? Kamu melakukan itu bukan karena terpaksa kan? Kalau terpaksa mendingan ga usah."
"Iya gue ... eh aku ga terpaksa Ven."
"Yaudah yuk ... aku udah enggak sabar nih," ucap Arven dengan menggebu-gebu.
Jantung Retta langsung berdetak kencang. "Nga ... ngap ... ngapain?" tanya Retta terbata-bata.
"Kamu gimana sih, ya ayolah masak. Katanya Lani kamu mau masakin aku, padahal aku udah senang Ret. Kalau kamu enggak mau enggak masalah deh, nanti masakannya kalau dibuat terpaksa jadi enggak enak. Tapi, meskipun ga enak aku tetap makan kok."
"Ohh ... yuk ... gue ... eh aku masakin yang enak."
VOMEN...
Salam,
TheDarkNight_
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Dress
Teen Fiction"Kamu kenapa milih warna gaun yang gelap?" tanya Arven dengan tatapan lurus ke depan. Retta mengangkat bahunya acuh. "Untuk menggambarkan keadaan gue nanti saat sama lo," ucapnya sarkastis. Arven tersenyum lalu mengusap puncak kepala Retta. "...