Lani memasukan semua barang-barang Retta ke dalam tas yang besar. Hari ini dikabarkan Retta sudah dibolehkan pulang. Mendengar kabar itu membuat Retta sedikit kesal, pasalnya dia harus pulang ke rumah Mamanya, bukan ke apartemen Arven padahal dia ingin sekali ke apartemen Arven, dia rindu dengan suasana di sana, tapi yang paling rindu adalah Arven.
"Udahlah Ret ini yang terbaik," ucap Lani yang sedari tadi memerhatikan Retta. Dia tau mungkin ini berat untuk Retta, namun dia juga tidak terima kalau Retta larut ke dalam lautan kebodohan cinta ini. Mungkin ini sakitnya tidak seberapa, tapi bagaimana kalau Arven terus-menerus berhubungan dengan Terra? Lani tidak mau kejadian itu sampai terjadi.
Retta terdiam tidak menjawab. Setelah selesai memasukan semua barang-barang Retta, Lani mengangkat tas itu. "Yuk Ret." Ajaknya. Retta mengangguk lalu mengikuti langkah Lani memasuki mobil, mobil itu bergerak menuju rumah keluarga Retta.
Tidak perlu waktu berjam-jam, cukup tiga puluh menit mereka sudah sampai di pekarangan rumah Retta. Lani memencet bel beberapa kali, sampai akhirnya ada suara pintu yang terbuka. "Apa kabar calon ibu?" tanya Eriska dengan wajah gembiranya. Entah ini kebetulan atau tidak mengapa Eriska sedang berada di rumah Retta saat keadaan seperti ini. "Ya ampun, kepalanya kenapa kok diperban?" Tanya Eriska lagi.
"Tante Liona sama Om Jordan ada di dalam?" tanya Lani cepat. Dengan rahang yang masih terjatuh Eriska mengangguk. Dengan langkah yang cepat mereka berjalan ke arah kedua orangtua yang dituju.
Aktifitas mengobrol yang dilakukan kedua orangtua itu terhenti, Liona memandnag Retta dengan pandangan bingung sekaligus panik. "Retta, sayang kamu kenapa?" tanyanya. Retta tidak menjawab, wanita itu berlari kecil menuju mamanya dan langsung memeluk mamanya sambil menangis. Mau bagaimanapun Retta tetaplah wanita yang lemah.
"Ada apa sih? Kenapa Retta bisa kaya gini?" tanya Jordan dengan panik. Anak perempuan satu-satunya yang paling dia sayangi pulang ke rumah dengan keadaan kepala yang diperban, bagaimana orangtua tidak panik.
"KAYANYA ADA MASALAH DEH OM!" teriak Eriska tiba-tiba. Lani yang masih berdiri menghela napas, entah tindakan ini terlalu mengurusi pribadi Retta atau tidak yang jelas dia harus mengasih tau ini, demi kebahagiaan Retta.
"Saya bisa jelaskan," ucap Lani sambil berjalan dan terduduk di hadapan mereka semua. Sekitar duapuluhlima menit Lani menjelaskan semuanya, wajah Jordan sudah sangat memerah menahan marah, wajah Eriska menjadi wajah bingung, dan wajah Liona hanya kaget. Dia tidak menyangka Arven seperti itu dengan Retta.
"Mungkin itu tidak seberapa Om, tapi bagaimana kalau hubungan itu semakin berlanjut yang saya pikirkan hanya perasaan Retta," lanjut Lani.
Jordan mengambil gelas yang berada di hadapannya lalu melemparkannya ke sembarang arah. Dia marah, dia kesal, dia tidak terima dengan perilaku Arven ke anaknya. Tega-teganya pria itu melakukan hal yang membuat hati anaknya sakit, padahal dia sebagai orangtua sangat menjaga perasaan anak satu-satunya itu.
"PANGGIL ARVEN CEPAT DAN SIAPKAN SURAT PERCERAIAN!" teriak Jordan mengelegar.
.
"Arven, pergi sana ... urusin semua urusan kamu dulu. Aku di sini tidak akan terjadi apa-apa," ucap Terra meyakinkan Arven untuk pergi ke rumah keluarga Retta. Tadi tidak sengaja wanita itu membaca pesan singkat yang dikirimkan Lani kepada pria itu yang berisi perintah dari bapak mertua.
"TANDA TANGAN! "teriak Jordan dengan penuh amarah. Keadaan Arven sudah benar-benar tidak layak untuk dikatakan baik-baik saja karena tadi Jordan memukulinya sampai bibirnya robek dan pipinya memar. Dan sekarang Jordan meminta untuk menandatangi surat perceraian.
Retta berdiri tidak jauh dari Arven. Tangis wanita itu semakin menjadi-jadi. Dia sedih, dia khawatir dengan keadan Arven, namun dia bisa apa? Dia tidak bisa menolongin Arven.
Arven mencoba kembali mengelap darah di bibirnya, dia menghela nafas berat. Matanya bertemu dengan mata Retta, dia dapat melihat Retta sangat sedih mungkin ini kesalahan dirinya yang terlalu egois. Arven sadar seharusnya dia tidak boleh seperti ini, tapi kalau sudah begini Arven bisa apa? Mungkin Retta lebih baik kalau tidak bersamanya, ditambah lagi Arven tau sedari dulu Retta belum mencintainya, Retta masih ragu untuk itu.
Arven memutuskan kontak mata itu, dia mengambil pulpen yang ada di meja lalu mulai menandatangani surat itu.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Dress
Teen Fiction"Kamu kenapa milih warna gaun yang gelap?" tanya Arven dengan tatapan lurus ke depan. Retta mengangkat bahunya acuh. "Untuk menggambarkan keadaan gue nanti saat sama lo," ucapnya sarkastis. Arven tersenyum lalu mengusap puncak kepala Retta. "...