Arven menjatuhkan kembali pulpen yang dipegangnya. Dia dia kuat untuk melakukan ini, hatinya menolak dan pikirannya juga menolak. Tidak perduli dengan semua tatapan yang menatapnya kaget, Arven bangun dari duduknya dia berjalan ke arah Retta, tanpa disangka Arven terduduk sambil memeluk kaki Retta. Dia tidak mau kehilangan Retta, dia sangat mencintai Retta. Retta menatap ke bawah, tangisannya semakin kencang dia tidak bisa berbicara lidahnya kaku seketika.
"Ret, aku mohon maafin aku," ucap Arven dengan suara parau. Setitik air terjatuh di telapak kaki Retta, dan dia dapat rasakan itu. Percaya atau tidak Arven menangis. Sekuat-kuatnya pria kalau sudah menemukan kelemahannya mau bagaimanapun juga kekuatan itu akan musnah. Dia mencintai Retta, dia menyayangi Retta, Retta segalanya untuknya, dan dia tidak mau kehilangan Retta.
Arven menatap Retta dengan matanya yang memerah. "Ret, apa perlu aku sujud di kaki kamu?" tanya Arven dengan serak. Retta menggeleng lemah, dia berjongkok dan menarik tangan Arven untuk berdiri. Mereka berdiri sambil bertatapan, Retta mengigit bibirnya menahan isakan tangis yang semakin kencang. Arven langsung melingkarkan tangannya di pinggang Retta dan membawa wanita itu ke dalam pelukannya. Arven rindu saat-saat ini, saat-saat bersama Retta.
"Arven ... jangan tinggalin aku," ucap Retta sambil terus-menerus meneteskan air mata di bahu Arven. Arven hanya mengangguk sambil terus mengusap kepala Retta dengan tangannya yang satu lagi. Semua orang yang berada di sini hanya terdiam menyaksikan drama yang biasa mereka lihat di TV.
Jordan melihat kedua orang itu sambil terdiam. Dari sini dia bisa lihat bahwa Arven ingin membawa Retta kembali ke apartemennya, walaupun dengan suara yang kecil, tetapi Jordan dapat mendengarnya. Begitu kedua orang itu sudah berjalan satu langkah, kaki Jordan juga melangkah untuk menahan mereka, namun ada sebuah tangan yang menariknya. Dia menoleh ke pemilik tangan itu, ternyata istrinya. Liona menggeleng seakan berkata jangan menahan mereka. "Demi cucu kita," ucap Liona yang langsung dapat membuat Jordan benar-benar terdiam.
"GILA! GUE LIAT DRAMA FTV DI SINI! ARVEN SAMA RETTA TADI ACTING GA SIH?" ucap Eriska kencang, Lani tidak menjawab itu. Dia hanya terdiam menatap Arven dan Retta yang sudah tidak berada di rumah ini, Lani menghela napas. "Kalau ini emang pilihan lo, gue bisa apa?" gumamnya kecil.
.
.
.
"Terra itu siapa?" tanya Retta penasaran. Arven menyandarkan diri di ranjang mereka. Tangan Arven menarik bahu Retta pelan agar bersandar juga di bahunya. Retta menoleh ke belakang, lalu dia langsung menyandarkan tubuhnya di bahu Arven. Begitu romantis kedua pasangan ini, andai saja tidak ada lagi masalah yang meretakkan hubungan mereka.
"Sahabat aku," jawab Arven singkat. Retta membalikan tubuhnya berhadapan langsung dengan wajah Arven. Dia menatap Arven tidak percaya.
"Sahabat? Kamu sampai segitu paniknya kemarin."
Retta dan Arven bertatapan. "Ret, aku sama dia sahabatan udah belasan tahun. Dia udah kaya adik aku sendiri. Papa dia juga pernah menolong aku, saat perusahaan aku hampir bangkrut papa dia yang membangkitkan perusahaan aku lagi. Makanya, aku donorkan hati aku sebagai tanda balas budi." ucap Arven menjelaskan.
"Kok kamu ga pernah ceritain ke aku?"
"Buat apa? Masa lalu biarlah berlalu. Lagi juga dia udah ga tinggal di Indonesia. Dia ke sini cuma mau ambil saham papanya karena papanya baru aja meninggal."
"Tapi gara-gara dia hati kamu ga utuh lagi! Kamu lebih milih dia daripada ucapan aku kemarin!" ucap Retta lagi.
"Ret, kamu ga boleh egois gitu. Dia hampir meninggal cuma aku yang bisa menolongnya. Dia ga ada apa-apanya dibandingin kamu. Kamu hidup aku, kamu nyawa aku, kamu segalanya. Kamu mau jantung aku ambil, kamu mau mata aku ambil, kamu bisa dapetin apa aja dari aku."
Retta membuang pandangannya. Tidak dapat dipungkiri lagi, pipinya memerah. "Cih, kemarin aku kecelakaan kamu ga dateng sama sekali," ucapnya seolah-olah masih kesal dengan Arven.
"Terra sendirian di Indonesia, dia ga ada orang yang nungguin. Kamu ada Lani, dia bisa nungguin kamu. Mengertilah sayang ...."
"Iya deh iya. Ngerti kok." Arven tersenyum. Dia mendekatkan wajahnya lalu mencium pipi Retta singkat. Retta langsung membesarkan matanya tidak terima.
"Gitu doang?" tanya Retta sambil menatap Arven dengan alis yang menaik.
"Apanya? Ciumannya? Mau lagi?" tanya Arven bertubi-tubi.
"Eng— ARVENN!!!" teriak Retta begitu Arven mengujani seluruh wajahnya dengan kecupan.
Selesai menggoda Retta, Arven kembali menatap Retta. Retta membuang pandanganya lagi, dia melihat ke samping, foto pernikahannya. Dia mengambil foto itu lalu mengamatinya, dia masih memakai dress berwarna gelap, dia jadi teringat ucapan dia dahulu. "Arven ... liat." Arven mendekat lalu memeluk Retta dari belakang.
"Aku mau ganti fotonya, aku mau foto yang aku pakai dress yang berwarna."
"Kenapa?"
"Karena ucapan aku waktu itu salah, menikah dengan kamu membuat hidupku benar-benar berwarna." ucap Retta tulus.
"Ret, aku cinta kamu."
"Aku juga."
"Ret, aku sayang kamu."
"Aku juga."
"Ret, aku rindu kamu."
"Aku juga."
"Ret ... itu yuk."
"Yuk!"
"Emang mau ngapain?"
"Ngapain aja asalkan sama kamu."
"YA ALLAH, RETTA GODAIN ARVEN YA ALLAH! BERI ARVEN KEKUATAN!" teriaknya mendrama.
Ending...
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Dress
Novela Juvenil"Kamu kenapa milih warna gaun yang gelap?" tanya Arven dengan tatapan lurus ke depan. Retta mengangkat bahunya acuh. "Untuk menggambarkan keadaan gue nanti saat sama lo," ucapnya sarkastis. Arven tersenyum lalu mengusap puncak kepala Retta. "...