Bagian Enam

508 13 0
                                    

            Gita duduk termengu menatap rintikan hujan di sebelah kaca tebal lantai dua toko buku. Diluar terlihat kendaraan bermotor menepi disebuah bahu jalan. Terdapat pula warung tenda di tepi jalan, banyak sekali muda-mudi bermesraan menghabiskan malam minggu dengan berbincang hangat. Mungkin berharap hujan tidak reda, agar bisa terus berlama-lama.

"Maaf de kalau buku novel di sebelah mana ya kira kira?" seorang ibu dengan anak kecil berumur 9 tahun berdiri disebelah Gita.

Gita hanya menggeleng

Ah, kan ibu itu bisa bertanya kepada karyawan toko buku ini tanpa menggangu lamunanku.

Mengganggu saja.

          Cewek dengan hoodie putih itu kembali memalingkan muka melihat hujan. Rumah makan yang bersebelahan dengan town square semakin dipadati oleh orang-orang yang berteduh. Jalan-jalan di area town square.

Tempat inilah, dimana Gita sering mengingat kenangan, saat ibu masih ada nan selalu siap mendengarkan anak yang di kepang dua dulu ini bercerita.

Mengisi keluh kesahnya saat pertama kali masuk SMP ketika banyak lelaki berusaha pedekate dengan usaha yang kurang elegan. Ia meronta tak terima saat tangannya di genggam oleh cowok nakal.

"Tapi dia ganggu terus Bunda." ia merebah di pundak Ibunya.

"Ya kalo gitu berarti dia suka sama kamu. Lihatlah anak bunda yang satu ini sudah beranjak remaja. Semakin cantik sekali. Semoga kau tambah pintar dan selalu sehat ya. Bunda sayang sekali sama kamu." ucapnya sembari mengecup kening Gita.

Tangis Gita sudah semakin reda kala itu.

Tangannya memegang foto Ia bersama sang ibu, mendongkak melihat ke langit-langit. Bintang-gemintang perlahan muncul malu malu.

           Dahulu, saat tepat umurnya 12 tahun ibu meninggalkan dirinya yang masih belia. Masih polos. Bahkan belum siap ditinggal olehnya. Lihatlah rambutnya yang dulu dikepang dua sekarang sudah tergerai panjang. Tumbuh menjadi rambut yang disukai oleh banyak orang. Apalagi senyumannya. Ia mempunyai bakat membuat orang senang dengan hanya melihat ia tersenyum.

   Malam ini, entah sudah berapa kali Gita tersenyum. Mengenang semua kejadian pilu dulu. Dahulu di tempat inilah ia bercerita hingga toko buku ini tutup, dan tahukah kau ia sekarang seperti kaset yang memutar seluruh kejadian itu. Seolah-olah berjalan lamban. Me-review dari ulang. Kemudian Ia percepat.

Pengumuman!
Gita menghela nafas panjang ketika suara speaker perempuan itu masuk ke telinganya. Jam sudah menunjukkan pukul 21.10 pengumuman bahwa toko akan segera tutup, yang tersisa hanyalah karyawan toko yang sedang beres-beres untuk segera pulang. Menurut kedua temannya ritual ini sangat aneh karena Gita selalu menginginkan sendiri berdiam diri lekat-lekat mengingat kenangan disini,di toko buku terbesar kota ini.

         Ia berlekas mengambil tas. Lalu memilih novel di tumpukan surat kecil untuk tuhan. Asal saja memilih. Buku inilah yang menjadi tiket dua jam dirinya berdiam diri di sini. Kasir  menyeringai "Buku ini bagus loh mbak, penulisnya terkenal sekali." ucap kasir lelaki tersebut, Gita hanya mengangguk tidak peduli.

Bodo amat ah dibaca juga gatau kapan

   Lantas ia buru-buru berjalan ke arah pintu keluar. Tak sengaja bahunya menabrak pengunjung lain yang hendak memasuki toko. Padahal toko buku ini kan sudah mau tutup. Buku yang Ia pegang terjatuh. Dan lihatlah sekarang pengunjung itu menggengam kresek belanjaan Gita yang terjatuh. Ah tidak, itu adalah lelaki yang sama percis saat Ia tabrak di sekolah. Ia adalah Samuel. Memakai kemeja berwarna biru lusuh berpadu dengan celana jeans pudar. Ia tersenyum kecut ketika menatap perempuan dihadapannya.

Tatkala Cinta Jatuh [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang