Bel sekolah sudah bernyanyi setelah sepuluh menit yang lalu, dengung gaduh memenuhi gedung bangunan. Hujan turun dengan rintik kecil, mewakili perasaan Gita yang sedang terseok.
"Lo mau langsung pulang aja Git?" Almira menyikut lengan Gita.
"Hah?apa?"
"Mau langsung pulang?" Ujar Almira dengan intonasi yang agak keras.
"Engga." Jawab Gita ketus.
"Kenapa? lo mau ke rumah sakit dulu?"Gita hanya mengangguk, tidak mempedulikan temannya itu. Pikirannya masih membayangkan raut wajah Samuel di lapangan tadi. Bagaimana tidak khawatir, pacarnya kini mungkin sudah terkulai lemas dengan balutan kabel serba panjang yang menempel pada tubuhnya. Ia mengerjapkan mata berkali-kali, hujan kini mulai rintik kecil, tidak sebesar saat tadi.
"Yaudah gue anterin aja Git, lagian gue engga tega ngebiarin elo sendirian kesana."
Gita mengangguk mendengar tawaran Almira lagipula jika Almira ikut dia tidak akan terlalu tersesat mencari Rumah Sakit di mana Samuel berada. "Kita naik taksi aja ya Mir, sopir gue engga bisa jemput soalnya lagi ada acara kayak gitu." Ujar Gita setelah memeriksa ponselnya sesaat si mamang mempunyai alibi untuk tidak menjemput majikannya itu.
"Oke,yuk cabut."
Mereka melintasi guyuran hujan dengan berlarian kecil; mengizinkan seragam dan tas sekolahnya bermandikan air hujan, untunglah di gerbang sekolah terdapat Aruna yang mungkin sedang menunggu jemputan. "Eh Run, gue pinjem payung lo dulu bentar." Belum juga dijawab olehnya, Almira dengan cepat merebut benda itu dari genggaman Aruna. "Sialan lo!" Ketus Aruna sesaat mereka sudah berlari ke luar gerbang. Mereka melintasi jalan trotoar yang cukup basah, lantas melewati satu dua kedai makan yang kerap dijadikan tempat nongkrong untuk anak seusianya. Kemudian menepi di halte.
"Tunggu disini aja Mir, biar ga basah nih seragam gue." Mereka duduk di sebuah bangku tembok yang halte itu sediakan. Tidak lama kemudian sebuah taksi dengan motif berwarna kuning datang, mereka bergegas naik.
"Pak, ke Rumah Sakit Sentral mawar ya." Ucap Almira yang langsung dijawab anggukan sang sopir taksi. Hujan kini berangsur reda, embun kecil masih menghinggapi kaca jendela mobil. Gita menghembuskan nafas, berharap penuh bahwa Samuel baik-baik saja.
"Ke Rumah sakit ngapain neng? Pasti ada keluarga atau temen yang sakit ya?" Sang sopir berbicara sembari melihat spion depan. Gita menggerutu sebal. "Kalau engga ada yang sakit, ya ngapain ke rumah sakit." Teriaknya dalam hati.
∆∆∆
Balutan kabel berpadu dengan infusan menjalar pada badan Samuel yang sedari tadi tidak sadar sedikitpun, Ia nampaknya telah tertidur pulas lantas bermimpi keluarga kecilnya menjadi keluarga yang bahagia kembali, masih ingat betul diingatannya suara Ayah dan Ibu yang selalu ramai mencoba membangunkan anak sulungnya. Roti kasih sayang bersama segelas susu penuh cinta di pagi hari, komentar sang ayah di mana ada kejadian terbaru di koran yang selalu dibacanya. Apalagi suara manis Jane adiknya. Perlahan ingatan itu mengulang kejadian manis itu. Samuel yang dijewer karena bertingkah bandel, Samuel antusias saat mendapat sekotak hadiah mainan lego. Samar-samar kebahagiaan itu terkikis, berganti dengan kenestafaan yang semua orang pun tak menginginkan.
"Masih ga di angkat Vin, kayaknya beliau sibuk deh. Ngurusin bisnisnya di luar kota." Cakra menengadah pada langit langit kamar Rumah sakit, Bayu dan Kevin masih berada disebelah anak itu.
"Coba lo telepon bokapnya deh, siapa tau bisa dihubungi."
Kevin menyeka keringat dengan ujung jarinya. "Oke, bentar." Cakra tetap menggenggam erat tangan Samuel, takut hal buruk terjadi dengan mendadak. "Tadi apa kata dokter Bay?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tatkala Cinta Jatuh [Completed]
Teen FictionJika Samuel itu adalah benua, dia adalah antartika. Jika Gita adalah benua, dia daratan amerika. Tapi ini bukan cerita tentang dua benua, ini tentang luka, asmara SMA dan lika-liku kisah remaja, "Kamu boleh pergi Git, tapi suatu saat, kamu nggak aka...