I Never Leave you

305 12 1
                                    

       Udara pagi datang kembali di kota ini. Hembusan angin berlawanan dengan suara kokok ayam, hilir-mudik orang-orang mulai terlihat. Jam sudah menunjukan pukul lima pagi, itu artinya setiap orang akan berlomba-lomba mencari rezeki, karena kalau kesiangan toh katanya bisa di patok ayam.

          Gita membuka perlahan kedua matanya, matahari nampak belum bersinar penuh. Cuaca di luar rumah sedikit gelap, sisa hujan semalam. Ia menengadahkan pandangan pada langit-langit kamar, refleks tangannya menyentuh benda yang berserakan di balik bantal yang empuk itu.

       "Mampus pr gue belum beres."  Deru nafasnya sedikit panik tapi Ia membesarkan hati bahwa guru mapel yang bersangkutan tidak akan masuk. Kemudian segeralah Ia memanggil bi Ijah untuk ritual mandinya.

       "Ada apa non?" Bi Ijah masih berlumuran celemek saat menghadap Gita, ditambah lagi aroma dapur yang sangat menyengat hidung.

Gita hanya menahan nafas, geli melihat si bibi.

        "Ya ampun bi, bau pasar gini.ckck." Gita tersenyum puas, melihat bi Ijah yang menggemaskan kadang menjadi obat pelipur lara dikala ia rindu pada sang bunda.

         "Papa udah bangun?" Seru Gita, bi Ijah mengangguk.

         "Em. udah non, udah rapi dari tadi juga. Ngebangunin non Gita tapi toh non ga bangun-bangun."

          "Non Gita itu emang selalu susah bangun dari dulu."

         "Mungkin itu karena mimpi aku selalu indah, bi. Jadi males buat bangun hehe." Senyuman kembali terpatri dari wajah Gita. Si bibi hanya melongo, membersihkan peluh di lehernya sedangkan majikannya bergegas melangkah kan kaki ke kamar mandi.

   ∆∆∆

    Setelah mandi, berganti seragam, dan membawa perbekalan.  Sekarang, Gita memandang nanar sarapan di meja makan. Pikirannya berkecamuk dengan segala sumpah serapah tentang perdebatan bersama Almira kemarin, sehingga ia lupa bahwa dia sedang mengoleskan selai roti pada tangannya sendiri.

      "Tangan kamu mau di makan juga, nak?" Ayah melirik Gita yang terlihat gusar. Tidak seperti biasa anak tunggalnya seperti ini.

       "Eh, aduh."

        "Maaf Yah, Gita engga fokus." Lanjutnya sembari menahan malu. Buru buru Ia membersihkan tangan yang sudah diberi selai.

        Ayah Gita hanya menggelengkan kepala. Batinnya terpukul karena setiap hari setelah istrinya pergi, sarapan ini terasa tidak lengkap lagi.

       "Kamu ada masalah di sekolah?"

       "Ngga,Yah." Jawab Gita pendek

       "Masalah sama pacar,ada?" Gita masih bergeming, Ia sampai lupa bahwa mungkin sekarang Samuel masih terkulai lemas di pavilun rumah sakit.

       "Kalau ada masalah coba ceritain sama Ayah." Sahut Ayah lagi.

       "Ngga ada."   Gita melirik arloji di tangannya yang masih menunjukan pukul enam. Ponsel Ayah bergetar,  lantas Ia berbicara dengan seseorang yang berada di telepon, diabaikannya Gita yang sedang berdehem kesal.

       "Nak, kayaknya sarapan pagi ini udah beres, Ayah harus buru-buru ke kantor. Proyek pembangunan Ayah bakal di terima, jadi harus ngeyakinin atasan hari ini, argumentasi Ayah harus kuat." Seru Ayah sembari merapihkan letak dasi yang masih awut-awutan.

Tatkala Cinta Jatuh [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang