Samuel--Gita

77 7 0
                                    

Seorang cowok terdiam lesu di sebuah pendopo rumah yang telah kosong. Tangannya menggengam erat sebuah botol vodca, beberapa tegukan membuat tubuhnya tak sadarkan diri.

"Stop! lakuin hal yang kagak berguna kek gini Sam," seorang cowok menggebrak pintu rumah kosong tersebut, dia adalah Bayu. Satu dari tiga sahabat yang selalu mencemaskan keselamatan Samuel karena kerap kali melakukan hal-hal di luar batas.

Sedangkan di sisi lain, Samuel masih tergelak. Dilemparkannya botol tersebut.

"Ini kehidupan gue! elo enggak ada hak buat ngatur apapun Bay, life is free." ujarnya.

"Tapi ini bukan yang elo mau Sam, elo lari dari masalah." jawab temannya itu. Samuel mematung, dengan cepat pikirannya mengingat kejadian yang lalu. Tentang sang ibu dan wahana kincir angin favoritnya, semua berawal dari sana.

"Elo harus ingat Gita." ucap Bayu lagi. Seketika mata Samuel merah padam. Dicengkramnya kerah baju temannya itu.

"JANGAN NGOMONG SOAL GITA!!" ia mengerjap.

"Dia enggak harus tahu gue kayak gini."

Kedua cowok tersebut saling pandang, mata Samuel yang tatapannya tajam membuat Bayu bergidik, mungkin bukan dia yang bisa menasehati Samuel.

Sementara di sisi lain, cewek yang mempunyai pipi tirus sedang menengadah menatap langit ruangan. Diabaikannya teriakan sang ayah dari daun pintu.

"Gita, buka pintunya. Ayah perlu bicara." katanya dengan suara yang serak, pasalnya setelah kejadian tengah malam kemarin, Gita urung keluar dari kamar. Ayahnya hanya mendengar Gita menangis serta memukul-mukul dinding.

Gita lantas membuka pintu dengan napas yang terengah. Matanya sayu, rambutnya yang hitam pekat acak-acakan.

"Ada apa?" ucap Gita sembari menahan sesak. Ada sesuatu yang tiba-tiba berantakan di hatinya. Tentang ibu, juga keluarga kecilnya dulu. Gita melihat manik hitam ayahnya yang sudah kentara memikul beban bertahun lamanya. Raut wajah yang sudah mulai keriput karena aktivitas di kantor. Gita ingin kecewa oleh apa yang menimpa dirinya, tapi dia tidak bisa.

"Jika kamu merasa kecewa terhadap dunia, maka bersujudlah kepada sang pencipta. Sesungguhnya dia maha mengetahui apa yang selalu kita rasa."

Gita teringat perkataan Ibunya tempo lalu. Dia tidak boleh kecewa pada apa-apa yang telah menimpanya.

"Ayah minta maaf." ujar sang ayah. Tanpa banyak kata, Gita lantas memeluk tubuh ayahnya yang sudah renta. Tangannya melingkar erat.

"Aku juga minta maaf, Yah. Aku enggak semestinya bicara kayak gitu waktu itu." ucap Gita, ayahnya mendengus tanda baik-baik saja. Meski Gita tahu, ada masalah besar yang selalu ayahnya sembunyikan di dalam senyumannya.

♢♢♢

Cahaya mentari menerabas masuk melalui kaca jendela kelas. Di sana, Samuel, Bayu, Kevin tengah terdiam menatap papan tulis yang berisi materi tentang National Geographic. Mereka seakan tabu untuk sekedar meliriknya. Sedangkan di sisi lain, Pak Thomas sebagai guru Geografi merasa tidak peduli. Kesabarannya sudah diambal sakaratul maut, dia sudah lelah mengingatkan orang-orang itu. Bagi pak Thomas, ada atau tidak ada Samuel, itu bukan masalah. Pak Thomas selalu menganggap gerombolan itu gaib, selagi mereka tidak membuat keributan itu bukan suatu masalah.

"Pak!" Samuel mengacungkan tangan, matanya merah padam.

"Pak!" katanya lagi. Tapi pak Thomas tidak mengindahkan. Ia masih mencatat di papan tulis.

"Pak!" kali ini Samuel menggebrak meja.

Pak Thomas menoleh sembari menyeringai pada cowok yang masih dibalut perban tersebut.

"Eh ada nak Samuel rupanya, enggak kelihatan." ucapnya yang dibalas gemuruh tawa murid-murid. Itu bukan gurauan yang lucu, tapi jika tentang Samuel. Murid-murid pasti tertawa.

Samuel menoleh sinis, ia lantas berjalan meninggalkan kelas tanpa satu patah katapun. Tipikal anak sultan yang tidak memedulikan sesiapa. Maklum, ayah Samuel adalah pemilik yayasan. Itu membuatnya bisa lebih enak bersikap arogan.

♢♢♢

Gita dan Aruna sedang menyantap soto di kantin saat gerombolan Rio, Andre, dan Oky tiba-tiba saja hadir juga di sana. Mereka adalah gerombolan tukang rusuh di kelas. Apalagi Rio, dia adalah parasit sejati. Kalau sikap usil punya wajah, maka Rio adalah orangnya.

"Satu ditambah satu...."

"Sama dengan dua...."

Andre menggenjreng gitar, dua temannya kompak bernyanyi sembari mengijakan kaki di mulut kantin.

"Dua ditambah dua...." intonasi suara Andre yang mirip radio rusak menggema. Sebagian orang menutup telinga, sebagian lagi ingin melempar mangkuk makanannya.

"Sama dengan tiga...." jawab Rio,

"Lahhh dua sama dua, ya empat." Andre membenarkan, Rio mengerutkan dahi.

"Dua ditambah dua...."

"Sama dengan Gita!" Rio melirik Gita yang tetap fokus menatap mangkuk makanannya.

"Jangan terlalu serius Git, santai aja." ucap Rio. Ia kini duduk di sebelah mereka.

"Elo jangan duduk di sini Rio, entar pacar Gita marah loh." Aruna santai memasukan soto ke mulutnya.

Sedangkan Gita hanya tersenyum simpul. Rio menarik lengan Gita. Tatapannya intens.

"Gue enggak takut!" ucap Rio.

"Gue kan yang jatuh cinta sama Gita duluan, bener engga Git?" sementara di sisi lain Rio sedang bersama Gita, sebuah mata menangkap pergerakan mereka.

Orang itu adalah Samuel, sosok berandal sejati SMA Pelita.

Ia menatap mereka dari jauh. Tangannya geram melihat mereka berdua. Ingin rasanya Samuel berlari lantas menghabisi sang lelaki, tetapi dia enggan melukai siapa-siapa untuk hari ini.

"Elo bisa diem enggak sih! Gita tuh lagi gamau lo ganggu." Aruna melotot, bibirnya mengerucut.

"Alah, palingan elo cemburu kan?" kini Rio balik menggoda Aruna. Dahulu mereka pernah saling bahagia bersama, sebelum Aruna tahu bahwa Rio hanya memainkannya.

Aruna tidak menjawab, bibirnya kelu seperti orang bisu.

"E ... Engga kok ... " Aruna gelagapan, pipinya yang putih berubah merah.

"Gue tau kok!" ujar Rio, matanya mengedip manja, tapi bukan untuk Aruna. Melainkan cewek di sebelahnya.

Gita merasa geli dengan perlakuan Rio yang menurutnya super aneh. Ia memalingkan muka lantas tiba-tiba melihat pujaannya sedang berbincang dengan Shasha--perempuan di rumah sakit yang menebas hatinya.

Plak!

"Eh elo kenapa sih Git?" Rio menyela tamparan Gita yang didapatnya secara tiba-tiba.

Gita menggernyit,"Aduh maafin gue Rio, enggak sengaja!" ucap Gita sambil mengelus pipi Rio.

Rio yang dielus pipinya merasa kegatelan. "Enggak papa-papa kok Git, enggak sakit ko." Rio pura-pura mengangguk yang dibalas tatapan jiji dari Aruna.

Sementara di sudut lain--seorang cowok sedang menatap Gita dengan keheranan. Perawakannya yang gagah membungkuk--ia memalingkan muka lantas melangkah pergi.

"Lagi dong Git," Rio tersenyum jiji

Plak!

"Gue lakuin itu pura-pura, bego." jawab Gita kesal.

♢♢♢

Tatkala Cinta Jatuh [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang