Tidur selamanya?

350 12 0
                                    

Samuel menyeka pipi perempuan di hadapannya dengan belas kasihan, Ia tidak menyangka seseorang yang selalu membantunya dikala rapuh, seseorang perempuan yang rela meluangkan waktu mendengar keluh kesahnya dapat menangis di depan matanya sendiri. Ada getir hati yang menyesal setelahnya.

            Kevin mengerutkan dahi masih saja bingung apa yang sedang terjadi kali ini, Cakra sedang memakan sisa martabak yang tadi dibawa oleh Shasha, sedangkan gelagat Bayu mondar-mandir seisi ruangan.

             Tangis Shasha sudah rada mereda, matanya sedikit berembun mungkin karena mendengar pelontaran kata yang tadi Samuel ucapkan. Bagaimana juga dia hanyalah sahabat Samuel, tidak kurang tidak lebih. Bahkan dia pula tidak tahu apakah lelaki itu memiliki perasaan khusus padanya? entahlah tapi semenjak Shasha melihat mata Samuel pertama kali, Ia sudah jatuh hati dibuatnya. Mungkin bagi sebagian perempuan lain jatuh hati pada Samuel adalah ketika mereka melihat wajahnya yang rupawan, tapi itu tidak berlaku pada Shasha. Jikalau lelaki itu tak tampan-pun rasanya ia akan menyayanginya tulus.

         "Maafin gu..gue Sam," Samuel kembali mengusap air mata Shasa.
        
         "Iya,"

  Disisi lain ponsel Kevin bergetar, ada nama tante Elisya di layar ponselnya. "Sam, ini nyokap lo nelpon nih. Angkat kagak?" Samuel memutar bola mata malas, hati-nya mendadak panas dan diabaikannya Shasa yang masih menangis.

      "Angkat aja, bilangin gue mati sekalian." Samuel mengatupkan kedua matanya.

       "Bangsat emang bener lu!"  Kevin menekan tombol hijau di layar ponselnya.

        "Hallo, tante."

∆∆∆

"Pelan-pelan Gita jalannya, nanti elo bisa jatoh ini jalan licin tau." Gita masih saja lari tergopoh, menjauhi area Rumah sakit. Rumah sakit yang membuat hatinya sakit.

       "Elo kenapa sih Git, lagian cewek itu cuman temen pacar lo, jangan kayak anak kecil gitu deh kadang kita harus legowo."

       "Hah!" Gita menoleh pada Almira yang melambatkan langkahnya.

       "Kayak anak kecil lo bilang? yang kayak anak kecil tuh gue apa elo? yang manja ke pacarnya siapa, yang manja ke nyokapnya siapa."

        "Elo kan Mir, terus sekarang lo bilang gue kayak anak kecil?  bahkan gue gatau Mir gue pernah kecil, nyokap gue meninggal pas umur gue dua belas tahun, bahkan sejak hari itu gue ga bisa kayak anak kecil lagi. Gue capek pura-pura kuat terus padahal kenyataanya gue rapuh." Tetesan air di mata Gita diikuti jutaan tetesan yang berasal dari angkasa, hujan turun cukup deras.

       "Harusnya itu ngebuat elo semakin dewasa Git, jangan lemah karena masalah sepele. Liat bokap lo Git, banggain dia,"

       "Elo tuh cuman bisa ngomong doang Mir. Coba lo ada di posisi gue, sakit Mir." Gita mendorong bahu Almira hingga membuat perempuan itu sedikit akan terjatuh.

          Almira membasuh air hujan di wajahnya, poni rambutnya terlihat amat acak-acakan tidak ada bedanya dengan Gita yang berdiri menatapnya tajam.

          "Lain kali kalo ngomong di filter dulu," Perempuan itu berjalan meninggalkan Almira yang masih dibuat keheranan. Hujan turun semakin deras, kendaraan mulai mengular dan persimpangan jalan diisi dengan orang yang ingin berteduh.

          Gita masih saja berjalan dalam hujan, karena menurutnya hujan adalah sesuatu yang sangat indah dalam hidup. Sebab hujan-lah dapat membuat air mata Gita tidak terlihat, menangis bersama rintikan hujan yang membasuh pipi.

Tatkala Cinta Jatuh [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang