Selasa malam.
"Kita lihat siapa cowok pertama Julieta Pavina Alexanda," katanya setelah sukses memijak anak tangga tertinggi dan tergapai foto bernomor satu yang berada di paling atas.
"Jangan, Ro," kataku mencegah cowok itu agar tidak melihat sosok di foto tersebut. Namun, Romero mengacuhkanku, seakan menganggapku tidak ada.
Kemudian kulihat wajahnya bermimik kecewa. Sepertinya dia kecewa karena di sana hanya sosok punggung cowok saja. Tapi tak lama setelah itu wajahnya berubah datar. Bukan sungguh-sungguh datar, tapi ada ekspresi sedikit terkejut. Lalu, dia pun terdiam. Diam selama hampir satu menit, seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Ro," panggilku lagi, tapi dia tetap di posisi yang sama.
Anak tangga yang dipijakinya itu bergerak, hingga tubuhnya ikut bergerak. "Ro!" teriakku memeringatkan
Crak!!
Gubrak!!
Aku memejamkan mata setelah melihat Romero mendarat ke lantai yang didahului oleh kakinya. Aku ngilu melihatnya. Pasti sangat sakit. Terlebih lagi anak tangga yang tadi Romero pijaki berjarak satu setengah meter dari lantai atau setara dengan tinggi badanku.
"Adawww!!" pekik Romero kesakitan. Dia sempat memandangi anak tangga rapuh yang membuatnya jatuh. Romero mengeluh kesakitan lagi, "Aduhhh!"
"Ro! Lo ngapain sih di atas? Berisik amat!" teriak Isyana entah dari mana.
"Na!! Tolongin gue dong? Kaki gue keseleo!"
"Ro!" aku panik, tapi aku malah tetap diam berdiri di radius 3 meter dari tempat Romero berada.
Tiba-tiba sorotan cahaya berebutan masuk ke mataku ketika aku membuka mata, aku pun kembali memejamkan mata dan mengejap beberapa kali untuk bisa menyesuaikan cahaya. Dan mataku sempat melihat sosok perempuan yang sedang membuka pintu lalu keluar.
Aku menghela napas lega. Ternyata peristiwa Romero terjatuh itu hanya mimpi.
"Juli," ucap seseorang yang duduk ada di samping kiriku.
Aku menoleh dan mendapati wajah kak Erdo. "Kak Erdo?"
Kak Erdo menerbitkan seulas senyum sambil mengelus pipiku dengan jemarinya. "Akhirnya lo bangun juga."
Tentu aku kebingungan dengan yang diucapkan kak Erdo. Tapi setelah aku melihat jarum infus menancap di punggung tangan dan ruangan khas Rumah Sakit serta merasakan indra pengecapku didominasi rasa pahit, membuat aku yakin kalau aku sedang sakit dan baru bangun sekarang.
"Aku sakit?" tanyaku memastikan.
"Iya, sakit demam biasa."
Aku ber'oh' ria. "Pantesan badan aku nggak enak dari kemaren. Terus aku sampai pingsan di sekolah."
"Wah, pingsannya dua kali, ya?" tanya kak Erdo dengan nada gurau.
"Dua kali?"
"Iya, dua kali. Di sekolah pas abis berantem sama temen-temen se-geng, sama di rumah di loteng kamar pas abis izin pulang."
"Kak Erdo tau?"
"Tau dong, aku 'kan serba tau."
"Ah, palingan diceritain sama Mero."
Kak Erdo terkekeh. "Hehe, tau aja." Dia mengambil boneka beruang berwarna biru dari nakas dan menaruhnya di atas tubuhku. "Ini dari Mero."
"Dari Mero?" aku sungguh terkejut, ada maksud dan tujuan apa Romero memberikanku boneka beruang yang cukup besar. Itu hal yang sangat langka dan patut dijadikan rekor untuk cowok dingin dan cuek seperti Romero. Eh, tapi Romero 'kan sudah berubah. Apa mungkin ini bukti kuat bahwa Romero sudah benar-benar berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romeo-nya Juliet
Dla nastolatkówMerupakan hal yang menjengkelkan bukan? Jika kamu diganggu oleh cewek ekstrover yang hiperaktif sekaligus suka menggoda banyak cowok dan penyandang nama playgirl, meskipun berparas sangat cantik. Jika 'ya', berarti kamu termasuk introver dan kamu se...