8

1.3K 79 0
                                    

Aidan terbangun saat merasa lengannya keram. Aidan membuka matanya dan terkejut saat tau ternyata dia seranjang dengan Seena. Lalu muncul pertanyaan, kenapa dia bisa berakhir di tempat tidur yang sama dengan Seena?

Setelah diingat-ingat, Aidan akhirnya tau kenapa. Tadi malam, setelah kembali dari toilet, karena tidak terlalu sadar Aidan berjalan naik ke tempat tidur. Padahal awalnya dia tidur di sofa.

Selama ini, Aidan benar-benar tidak pernah tidur di sofa. Dan rasanya benar-benar tidak nyaman. Sepertinya punggungnya akan retak jika dia tidur lebih lama di atas sofa itu.

Dengan perlahan, Aidan mengangkat kepala Seena agar tidak membangunkannya. Aidan memegang dahi Seena, sudah baikan. Setidaknya tidak sepanas kemarin. Aidan membenarkan selimut yang digunakan Seena.

Tapi tanpa diduga, jemari mungil Seena justru tanpa sengaja menahan jari Aidan. Membuat Aidan dalam sekejap, terdiam. Tidak bisa bergerak.

Aidan menatap Seena lama. Gadis itu tertidur pulas dan dia tidak ingin mengganggunya. Jadi, Aidan menarik pelan tangannya, berharap Seena tidak terbangun. Tapi Seena justru terbangun.

"Tidak! Kamu ngapain? Kamu pasti buat yang aneh-aneh kan? Seharusnya kamu balik aja ke kamar kamu!" protes Seena.

"Tadi saya mau pergi setelah melihat suhu tubuh kamu. Tapi kamu malah tahan tangan saya, saya tarik tangan saya. Dan kamu malah bangun. Sekarang kamu tuduh saya yang tidak-tidak?"

"Kemarin kamu udah bilang saya pelayan hotel dan tukang bersih loh. Kamu harus minta maaf sama saya."

Seena menatap Aidan takjub. "Kamu banyak bicara juga ya? Oh iya, selain itu kamu juga pendendam."

"Iya, saya pendendam. Makanya hati-hati dengan ucapan kamu. Saya ga segan-segan melakukan apa yang saya mau, meskipun kamu tidak setuju."

"Siapa juga yang takut dengan ancaman kamu? Aku bukan anak kecil yang langsung diam saat diberi ancaman."

"Oh benarkah?" Aidan memajukan wajahnya, menghapus beberapa jarak di antara mereka. Mulut Seena terkatup rapat.

Aidan kembali menghapus jarak, tapi Seena dengan refleks memundurkan kepalanya. Aidan tersenyum kecil dan berbisik, "Kayanya yang saya lakukan ini mempan untuk buat kamu terdiam. Am I right or am I wrong, Seena?"

Ponsel Seena kembali berdering. Seena dengan cepat meloncat dari tempat tidurnya, menetralkan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Siapa yang telfon? Peter? Dia kenapa sih telfon kamu terus, ganggu acara liburan kamu aja," protes Aidan.

"Yang ditelfon kan aku. Kenapa kamu yang sewot? Atau kamu cemburu karena dia telfon aku terus?" ejek Seena.

"Astaga, Seena. Masih banyak ribuan perempuan di luar sana yang lebih oke dari kamu, yang mengantri buat jadi pacar saya. Dan kenapa saya harus cemburu sama kamu?"

"Maaf ya, tapi aku ga kalah menarik. Udah sana kamu keluar, aku mau siap-siap."

"Siapa juga yang mau lama-lama sama kamu di sini?" Aidan meninggalkan kamar Seena dan kembali masuk ke dalam kamarnya.

Seena yang masih tetap di kamar menghentakkan kakinya kesal. "Emang dia kira dia itu ganteng banget apa? Cewek yang ngantri buat dapetin dia itu jangan-jangan gila kali."

Tiba-tiba pesan masuk. Seena segera membuka pesan masuk itu.

Si Tampan.
Saya memang tampan. Yang perlu kamu lakukan, hanya mengakui bahwa saya itu tampan. Jangan menipu diri sendiri, Seena.

"Apa-apaan ini? Dia bisa baca pikiranku? Oh, tentu saja tidak mungkin! Ah, sudahlah, lebih baik aku bersiap-siap saja. Pagiku benar-benar berantakan karena laki-laki itu," omel Seena lagi.

Di dalam kamarnya, Aidan tertawa ngakak melihat Seena terus mengomel. Wajah betenya itu membuatnya terlihat semakin menggemaskan.

***

LEGIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang