"Seena, kamu kenapa lama banget siap-siapnya?" ujar Aidan tidak sabaran. Aidan sudah berdiri di depan pintu kamar Seena selama sekitar 10 menit.
Seena akhirnya membuka pintunya. Seena terlihat cantik dengan dress selutut berwarna soft pink dipadukan dengan flat shoes berwarna putih yang senada dengan warna tasnya. Terlihat lebih feminin dan girly dibanding sebelumnya. Rambutnya diikat setengah dan sisanya dibiarkan terurai.
"Bawel banget sih kamu. Kamu ga pernah punya pacar ya? Cewek kan siap-siapnya emang lama," protes Seena sambil menutup pintu kamarnya.
Aidan tersadar dari lamunannya. "Siapa bilang?"
Padahal sejujurnya, Aidan tidak pernah berpacaran. Aidan tidak suka memiliki hubungan dengan perempuan. Lagipula apa pentingnya status? Selain itu, di dunia ini, perempuan kebanyakan hanya mementingkan materi dan tampang.
Aidan bukan tipe orang yang suka menghabiskan waktunya untuk berpacaran. Semasa sekolahnya saja, tidak bisa dihitung berapa banyak orang yang ditolak oleh Aidan.
"Aidan, kamu mau di sana aja? Gamau ikutan jalan?" tanya Seena saat melihat Aidan terdiam, tatapannya kosong.
Aidan segera menyusul Seena yang sudah berjalan lebih dulu di depannya. "Kamu mikirin apa sih?"
"Gaada. Kita mau kemana nih?" Aidan baru saja ingin masuk ke taksi tapi melihat Seena yang berjalan melewati taksi, Aidan mengurungkan niatnya.
"Jalan kaki? Lagi?" protes Aidan. Seena mengangguk.
"Gaboleh naik taksi terus. Harus jalan-jalan juga. Lagian kita juga mau ke gondola, ga terlalu jauh dari sini," sahut Seena.
"Gondola? Yang saya tau gondola kan mahal? Kamu yakin?"
"Kalau ga dicoba gatau. Siapa tau diskon, kan aku cantik hehe," jawab Seena dengan percaya diri. Aidan menjitak pelan kepala Seena.
"Aduh, sakit!"
Sepanjang perjalanan mereka ditemani dengan perdebatan antara Aidan dan Seena. Dan, akhirnya, mereka sampai.
Tapi mereka masih mencari gondola yang lebih murah. Tapi semuanya justru sama mahalnya. "Aduh, Aidan. Yang ini juga gapapa kali. Kita mau cari kemana lagi? Udah hampir malam nih."
"Kamu boros. Kamu harus hemat, cari uang tuh ga mudah."
"Ah, gapapa deh. Sekali aja ya? Selama ini kan aku hemat. Masa aku ga naik gondola?" Seena terlihat galau.
Aidan menghela nafasnya. "Yaudah, saya coba ngomong. Siapa tau dia kasi diskon?"
"Iya, terserah. Emang kamu bisa ngomongnya?"
"Kamu tenang aja. Biar saya yang urus. Mau naik gondola kan?" Seena mengangguk dengan cepat. Muka galaunya itu hilang dalam sekejap.
Aidan berbicara dalam bahasa Italia, mengatakan, "Permisi, Pak. Berapa tarif naik gondola ini?"
"€80 untuk 50 menit."
"Ah, mahal sekali!" Seena berjalan mendekati Aidan. "Gimana? Lebih murah?" tanya Seena.
Aidan menggeleng. "Sama aja kaya yang sebelumnya." Aidan kembali mengalihkan pandangannya menghadap gondolier tadi. "Apa tidak ada potongan harga sama sekali?" tanya Aidan, masih dalam bahasa Italia.
"Ada! Tapi apakah nona ini pacarmu? Jika iya, hari ini kebetulan ada potongan €20 untuk pasangan. Bagaimana?"
Seena tidak terlalu mengerti apa yang laki-laki ini bicarakan. Dia mengucapkannya terlalu tepat, sehingga sulit untuk memahami apa yang dikatakannya.
"Harus pasangan?" Bapak gondolier itu mengangguk.
Tidak ada cara lain. Aidan menghela nafasnya dan mengatakan, "Ya, dia pacarku."
"Gimana? Aku ga terlalu ngerti daritadi kalian ngomong apa." Tapi Aidan sama sekali tidak menjawab pertanyaan Seena.
"Tidak ada tambahan potongan lagi?" Laki-laki itu menggeleng. Aidan akhirnya mengatakan, "Baiklah. Kami naik dengan €60."
Aidan dan Seena diijinkan naik ke gondola. "Wah, akhirnya!" Seena terlihat sangat bahagia.
Laki-laki itu mengatakan, "Kalian adalah pasangan yang sangat serasi, yang aku temui hari ini," pujinya. Aidan hanya menanggapinya dengan senyuman kecil.
Seena memegang lengan Aidan. "Jadi kita bayar berapa nih? Kamu ga jawab daritadi aku tanya."
"€60. Ini karena saya ganteng makanya diberi potongan harga. Untung bukan kamu tadi yang ngomong," ejek Aidan sambil menetralkan kegugupannya.
"Iyain, terserah. Eh, Aidan, fotoin dong!" Aidan menatap Seena kesal, tapi tetap mengambil ponsel yang Seena berikan.
Bapak gondolier itu tiba-tiba mengatakan, "Bagaimana jika saya yang mengambil gambar kalian?"
"Apakah boleh?" ujar Seena yang akhirnya paham setelah beberapa saat. Laki-laki itu mengangguk, iPhone Seena beralih ke tangan bapak gondolier itu.
Seena dan Aidan duduk bersebelahan. Dalam hitungan ketiga, foto itu diabadikan. Seena tersenyum manis dan Aidan tersenyum canggung.
"Terima kasih!" ujar Seena senang. Seena lalu mengambil iPhonenya dan ingin kembali duduk. Tapi tiba-tiba kakinya tersandung dan jatuh tepat ke arah Aidan, bibir mereka menempel secara tidak sengaja. Kejadian tidak sengaja itu terjadi bersamaan dengan berdentangnya lonceng.
Seena buru-buru berdiri. Aidan juga. Keduanya sama-sama gugup. "Kenapa kalian terlihat sangat terkejut? Apa kalian tidak pernah berciuman?"
"Atau apakah kalian bukan pasangan? Kau mengaku kalian berpacaran karena diskon?"
Susah ini kalau ketahuan, batin Aidan.
Aidan menggeleng cepat dan merangkul Seena, mengatakan, "Dia memang suka malu begini, Pak."
Bapak itu tertawa dan mengatakan, "Ah, dia itu lucu sekali. Oh iya, katanya, pasangan kekasih akan diberikan cinta abadi dan kebahagiaan saat berciuman di gondola, tepatnya saat matahari terbenam di bawah Bridge of Sighs, saat lonceng St. Mark's Campanile berdentang."
Cinta abadi? Kebahagiaan? batin Aidan.
"Selamat, ya. Semoga kebahagiaan kalian abadi!"
"Terima kasih," jawab Aidan seadanya. Seena yang ada di sebelah Aidan hanya ikut tersenyum saat melihat Aidan senyum.
Sepertinya itu tidak akan benar-benar terjadi. Dalam sekejap, entah esok atau lusa, tidak ada akan ada yang namanya cinta abadi ataupun kebahagiaan, batin Aidan lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LEGIO
Teen FictionKetika Seena dihadapkan tiga pilihan, siapa yang akan Seena pilih? Peter yang adalah sahabatnya, Aidan yang terobsesi dengan dendamnya, atau Adam sahabat dekat Aidan yang akhirnya jatuh hati kepada Seena? ps...