20 (A)

803 56 1
                                    

Beberapa minggu terakhir ini Seena menghabiskan waktu dengan Aidan, Adam, dan Peter. Tentu saja di hari dan waktu yang berbeda.

Tapi Seena lebih sering bepergian dengan Aidan dibanding Adam atau Peter. Jujur, Seena lebih senang bepergian dengan Aidan. Rasanya menyenangkan.

Dan Seena bingung kenapa setiap dia janjian dengan satu orang, ada panggilan darurat dari orang lain yang membatalkan rencananya ini.

Harusnya hari ini dia janjian dengan Peter dan Peter akan menjemputnya, tapi tiba-tiba supir Aidan datang ke rumah dan meminta Seena untuk datang ke apartemen Aidan.

"Aidannya kenapa, Pak?"

"Saya kurang tau juga, Nona. Lebih baik langsung tanyakan ke dia saja." Jawaban yang diberikan supirnya sangat tidak enak didengar. Jika tau jawabannya seperti itu, lebih baik tidak ditanyakan dari awal.

Seena mengambil ponselnya dan memberitau acara mereka dibatalkan. Peter bukan orang yang banyak berkomentar, tapi Seena tentu bisa menebak bahwa Peter mungkin tidak senang atau tidak suka. Tapi mau gimana lagi, menurut supir Aidan, ini mendesak.

Mobilnya berhenti tepat di sebuah apartemen yang cukup megah. "Kita sudah sampai, Nona." Seena turun dari mobil dan memasuki apartemen itu.

Saat mau menaiki lift, bahu Seena tak sengaja bertabrakan dengan seorang perempuan. "Kalau jalan, lihat-lihat," ujarnya sinis.

Dia yang salah, aku yang dimarahin, batin Seena.

Seena memilih untuk mengabaikannya dan masuk ke lift. Perempuan tadi menatap kepergian Seena tidak senang. Tapi perempuan tadi yakin pernah melihat gadis itu di suatu tempat.

Lift ini digunakan hanya untuk naik ke atas. Begitu sampai di lantai atas, ada sebuah pintu masuk. Seena menekan belnya. Beberapa menit kemudian, Aidan membuka pintunya. Aidan terlihat pucat.

"Aidan, kamu kenapa?" tanya Aidan langsung masuk begitu melihat kondisi Aidan.

Seena memegang dahi Aidan untuk mengecek suhu tubuhnya, panas. Aidan benar-benar demam tinggi. "Aidan ada obat di sini?"

"Untuk apa obat? Demam ini bisa sembuh besok!"

"Gimana mau sembuh kalau ga minum obat, Aidan? Kamu udah makan?" Aidan menggeleng.

"Yaudah, bentar. Aku buatin kamu makanan dan cari obat penurun panas. Tunggu ya," Aidan mengangguk.

Seena keluar dari kamar Aidan dan beralih ke dapur. Seena berpikir mungkin Aidan tidak nafsu makan dan lebih baik jika makan bubur saja. Walaupun sedikit, setidaknya Aidan harus makan, kan?

Selagi menunggu buburnya, Seena mencari obat penurun panas. Dan untungnya obat itu ada.

Setelah buburnya siap, Seena bergegas kembali ke kamar dengan nampan berisi semangkuk bubur, segelas air, dan obat. "Aidan, makan dulu ya?"

"Gak, Seena. Rasanya tidak enak untuk makan."

"Sedikit aja, gimana? Kalau ga makan gabisa minum obat, Aidan. Untuk sekarang jangan terlalu keras kepala." Seena menyuapi Aidan beberapa sendok. Setelah itu, Aidan menggeleng.

"Satu kali lagi. Oke?" Aidan berusaha menelan suapan terakhirnya.

Seena memberikan segelas air dan obat untuk Aidan. "Aidan, minum ini." Aidan menelan obatnya, lalu meneguk airnya.

"Sekarang istirahat, aku cuci piringnya." Seena keluar dari kamar Aidan dan mencuci piring-piringnya.

Saat Seena selesai dan ingin melihat kondisi Aidan, ternyata Aidan sedang mendapat panggilan. Jadi, Seena memutuskan untuk duduk di sofa.

Tapi langkahnya terhenti saat mendengar namanya disebut. Seena tau ini salah, tapi Seena tetap mendengar pembicaraan itu.

Di dalam kamar, Aidan menanggapi panggilan Adam. Adam menyuruh Aidan menjauhi Seena karena tidak ingin Seena disakiti.

"Kau yang harusnya menjauhi Seena. Kenapa jadi aku?"

"Ya, jauhi Seena. Seena tidak pantas disakiti oleh orang seperti kau, Aidan."

"Siapa bilang aku menyakiti Seena?"

"Bukankah katamu kau mendekatinya untuk menyakitinya? Kau tak ingat dengan semua rencanamu itu?"

"Awalnya ya. Aku mendekati Seena untuk menyakitinya dan selain itu hanya melalui Seena, aku bisa menghancurkan perusahaan ayahnya. Tapi sekarang berbeda."

"Kau bisa langsung membunuh ayahnya, kenapa harus lewat Seena? Tidak taukah kau bahwa Seena bisa dalam bahaya karena dekat dengamu?!"

"Hentikan omong kosongmu, Adam. Semuanya berbeda sekarang."

"Apanya yang berbeda? Jangan pernah dekati dia lagi."

"Siapa kau berhak mengaturku? Bukankah kau menyetujui semuanya dari awal, Adam? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"

"Because i love her, Aidan. Why you can't understand?"

"So do I, Adam. So, now, leave her. Jangan pernah dekati dia, lupakan semuanya." Aidan mematikan panggilannya.

***

LEGIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang