9 (B)

1.2K 70 1
                                    

Mereka sudah kembali ke hotel karena hari sudah malam. Kali ini dengan suasana canggung. "M-Makasih, Aidan. Aku masuk kamar dulu ya?" Aidan mengangguk.

Setelah memastikan Seena masuk ke dalam kamarnya, Aidan masuk ke kamarnya. Melihat apa yang Seena lakukan lewat kamera-nya.

Yang Seena lakukan hanyalah terbaring di tempat tidur dan terus berbalik kesana kemari. Seperti ada sesuatu yang menganggunya. "Apa karena ketidaksengajaan tadi?" gumam Aidan.

"Ah, besok aku sudah meninggalkan tempat ini. Semua yang terjadi di sini hanya tinggal kenangan. Kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan." Setelah mengucapkan kalimat itu, Seena sepertinya langsung tertidur karena dia menutup matanya dan tidak ada pembicaraan lagi setelahnya.

Aidan tanpa sadar juga ketiduran. Selama ini, untuk pertama kalinya, Aidan merasa bisa tidur dengan nyaman dan tenang. Biasanya akan selalu ada mimpi buruk yang menghantuinya.

Selama sepekan ini, dua insan itu sama-sama tidak menyadari ada yang berbeda. Perasaan itu mulai ada, walau hanya sedikit. Tapi keduanya sama-sama tidak mengetahuinya.

Yang perempuan terlalu tidak peka. Dan tidak cepat menyadari kejadian di sekitarnya. Yang laki-laki, tidak menyadari perasaannya sendiri, karena dibutakan oleh dendam.

***

Cahaya matahari pagi membangunkan Seena dari tidur nyenyaknya. Seena bergegas masuk ke kamar mandi.

Setelah itu, Seena merapikan semua barang bawaannya. Penerbangannya nanti malam. Hari ini akan menjadi hari perpisahannya dengan Venesia, dan juga dengan Aidan.

Tapi, itu hanya menurut Seena. Karena Aidan tau tidak ada perpisahan di antara mereka. Karena sama seperti Seena, dia juga akan menyusulnya. Seperti yang terjadi sebelumnya juga, Aidan akan membuat pertemuan lagi.

Rencana Aidan sebenarnya adalah membunuh Seena secara perlahan. Bukan dalam artian membunuh dan berakhir dengan kematian. Aidan tentu tidak ingin repot-repot menghabiskan waktunya untuk membunuh seseorang dan menambah dosanya.

Aidan hanya akan membuat Seena menyukainya. Tidak, lebih dalam. Lebih tepatnya, mencintainya. Setelah itu, Aidan akan memanfaatkan Seena untuk mengambil alih perusahaan ayahnya. Saat semua rencana-nya sudah selesai dilakukannya, Aidan akan meninggalkannya.

Yang Aidan butuhkan selama ini sebenarnya hanya kejujuran dan permintaan maaf. Hanya itu. Tidak lebih. Tapi, ayah Seena sama sekali tidak mau mengakui kesalahannya, bahkan kata maaf sepertinya sulit sekali untuk keluar dari mulutnya.

Memang benar, hanya dua hal yang paling susah untuk diucapkan orang. Yaitu 'maaf' dan 'terima kasih'.

Selesai bersiap-siap, Aidan mendatangi kamar Seena mengajaknya berjalan-jalan. "Aidan, kamu jangan kangen ya. Abis ini kita ga ketemu lagi," ujar Seena bercanda.

"Siapa juga yang mau kangen sama kamu? Kamu kira saya gaada kerjaan apa?"

"Iya, iya. Kamu setelah ini kemana? Tepatnya setelah nanti malam?" tanya Seena. Seena sedang memikirkan nasib Aidan saat dia pulang nanti.

Aidan menggeleng tidak tau. "Entahlah. Mungkin besok pagi baru saya akan mencari flight. Kamu tenang aja. Saya ini mandiri."

"Katanya mandiri, tapi ngikutin aku pergi terus," gumam Seena yang sayangnya terdengar jelas oleh Aidan.

Ponsel Seena berbunyi. Seperti biasa, Peter yang menghubunginya. Dan tentu saja, Seena akan mengangkatnya.

"Penerbangan kamu nanti malam kan?"

"Iya. Kenapa?"

"Kalau kamu sudah sampai, bilang ke aku. Aku yang jemput kamu."

"Gausah. Kamu pasti sibuk. Kamu lagi bantuin papa kamu di perusahaannya kan?"

"Gapapa, cuma bentar. Lagian aku kan belum kerja, cuma lagi liat-liat aja."

"Pokoknya gamau. Kamu harus pentingin urusan kamu itu."

"Kamu harus kasitau. Tidak ada penolakan."

Aidan daritadi menahan kesabarannya. Tapi, sekarang, batas kesabarannya sudah habis. Dengan sengaja, Aidan mengatakan, "Seena, cepat. Nanti tambah ramai di sana." Seena menatap Aidan sinis.

"Kamu sama siapa, Seena? Staf hotel itu sedang membersihkan ruangan-mu?"

"Iya, staf hotel kemarin sedang sibuk merapikan semuanya karena tadi aku memintanya."

Mata Aidan membulat mendengarnya. Tanpa menunggu ijin Seena, Aidan langsung mengambil ponselnya. "Saya bukan staf hotel. Dan tolong berhenti hubungi Seena, jangan ganggu perjalanannya dengan ocehan tidak jelasmu itu." Setelah itu, Aidan langsung mematikan panggilannya.

"Aidan! Kenapa dimatiin? Nanti pas aku pulang aku bisa diinterogasi. Huaa! Semua karena kamu."

"Udah, jangan bawel. Saya lapar. Ayo, makan!"

Setelah selesai makan, Aidan benar-benar mengajak Seena jalan-jalan. Aidan ternyata tidak mengingkari ucapannya kemarin yang katanya ingin membawa Seena berkeliling sebelum penerbangannya. Seena kira dia hanya main-main.

***

LEGIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang