12 (C)

1.1K 57 3
                                    

"Kamu orang yang waktu itu ga sengaja tumpahin minuman kan?" tanya Seena setelah berusaha keras untuk mengingat siapa orang itu.

Adam mengangguk. "Kenalin saya, Adam, temen Aidan." Seena membalas uluran tangan Adam sambil menyebutkan namanya. Tak lupa dengan senyum manisnya.

Ah, Adam merasa dia bisa meleleh jika dekat dengan Seena lebih lama lagi. Aidan berdeham, menyadarkan Adam dari lamunannya.

"Mau masuk atau ga?" Adam terlihat canggung. Setelah itu, Adam dan Seena juga masuk ke dalam rumah.

Suasananya bisa dibilang sangat canggung sekarang. Tedd, Katherine, Aidan, Seena, dan Adam duduk di ruang tamu. Sedaritadi Tedd terlihat tak banyak bicara, bahkan sedikit pucat.

"Pa? Papa sakit? Kok pucat gitu?" tanya Seena yang melihat papanya tak banyak bicara dan terlihat benar-benar pucat.

"Papa gapapa, Seena."

Seena mengangguk dan mengenalkan Aidan dan Adam kepada ayahnya, secara bergantian.

"Senang bertemu denganmu, Tuan," sapa Aidan. Tedd benar-benar tidak bisa mengatakan apapun. Seperti ada lem yang membuat mulutnya tetap rapat.

"Tedd, kenapa tidak menjawab? Aidan memanggilmu beberapa kali." Suara Katherine menyadarkannya.

"Oh, maaf? Apa apa, Aidan?"

"Saya bertanya bolehkah malam-malam begini, saya meminjam Seena untuk menunjukkan alamat?" tanya Aidan.

"Bukankah ini sudah terlalu larut untuk menunjukkan alamat? Bagaimana jika besok?" tanya Tedd. Tedd benar-benar tak senang putrinya harus mengantar Aidan.

Katherine menambahkan, "Ya, benar, Aidan. Bagaimana jika menginap? Masih ada kamar kosong di sini."

"Apakah tidak apa-apa? Maaf merepotkan," jawab Aidan tidak enak.

"Seena, tolong antarin Aidan dan Adam ke kamar tamu itu bisa?" Seena mengangguk. Aidan dan Adam mengikuti langkah Seena.

"Ada apa dengan papa? Tidak biasanya papa seperti ini?" gumam Seena.

"Kamu bilang apa, Seena?" Aidan meminta pengulangan karena mengira Seena sedang berbicara dengannya.

"Hah? Gaada kok. Oh iya, kamarnya di sini." Setelah itu, Seena berjalan meninggalkan mereka dan masuk ke kamarnya, kamarnya tepat di sebelah kamar tamu.

"Wah, kamarnya di sebelah?" ujar Adam sebelum akhirnya masuk ke kamar, menyusul Aidan.

Beberapa saat setelah mereka masuk terdengar suara orang tua Seena. "Wah, keren ya, ada Aidan di rumah kita."

Tedd menjawab, "Gausah terlalu bersemangat. Kita juga ga kenal dia, kenapa harus senang sekali?"

Katherine mengatakan, "Tidak seru kau ini."

"Berisik, sudah tidur saja sana," ujar Tedd.

"Iya, iya."

Di dalam kamar, Aidan sedang bertanya-tanya apakah Seena sudah tidur? Jika sudah, tentu akan lebih aman, jika tidak rahasianya bisa terbongkar.

"Tuh kan seharusnya daridulu kita blokir pencariannya. Tapi sepertinya Seena tetap tidak akan tau jika kau tidak bertindak macam-macam," kata Adam setelah melihat pencarian Seena.

Aidan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, anggap saja seperti itu."

Di lain tempat, Peter merasa kesal dan galau di saat yang bersamaan. Seharusnya kan malam ini, Peter bisa merencanakan perasaannya dan semuanya gagal karena Aidan itu.

Setelah dipikir-pikir lagi, suara yang namanya Aidan itu terdengar tidak asing. "Ya, benar, dia orang yang ada di Venesia, yang bersama Seena itu."

"Tapi apa yang dilakukannya di sini? Dan apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Peter lagi.

Seperti kemarin, Peter memutuskan untuk menghubungi Daniel lagi. Dan Peter berpikir mungkin Daniel sudah tidur dan tidak enak menganggunya, tapi ini adalah urusan penting. Benar-benar penting. Meskipun hanya bagi Peter seorang.

Beberapa menit kemudian, panggilannya tersambung. "Ya ada apa?" Suara Daniel terdengar jelas sekali bahwa dia terbangun dari tidurnya.

"Maaf malam-malam menghubungimu seperti ini. Ada yang ini saya beritau dan tanyakan."

"Lanjutkan saja."

"Malam ini seharusnya saya sedang makan malam dengan Seena."

"Kalau anda sedang makan malam dengan nona Seena, kenapa anda malah menghubungi saya?"

"Sayangnya semua tidak sesuai rencana. Masih ingat laki-laki yang saya beritau saat dia bersama dengan Seena di Venesia?"

"Ya. Ada apa?"

"Dia datang ke Sydney. Dan dia sekarang menginap di rumah Seena."

"Apa? Kenapa bisa?"

"Mana saya tau. Oh, iya, satu lagi. Nama laki-laki itu terdengar tidak asing. Mungkinkah kamu mengenalnya?"

"Saya saja tidak tau namanya, bagaimana saya bisa mengenalnya?" Sepertinya sebentar lagi, Daniel benar-benar bisa gila memiliki atasan sejenis Peter.

"Namanya Aidan."

Hening selama beberapa saat. "Siapa? Aidan? Yang benar saja? Anda tidak mengenal dia?"

"Dia pernah menjadi rekan kerja ayah anda sebelum anda menjabat seperti ini. Dan lagi, Aidan adalah seorang yang terkenal, dia pengusaha yang sukses, saat di usia muda. Sekarang mungkin dia seusia anda, tapi dia membangun perusahaan sendiri, bahkan di beberapa negara besar."

"Kalau begitu hebat dia, kenapa dia mendekati seorang Seena? Apa yang ingin dilakukannya?"

"Mana saya tau. Anda kira saya bisa membaca pikiran seorang Aidan? Jika anda takut nona Seena kenapa-kenapa, jagalah dia. Dan lebih baik, anda mengubah status kalian, dengan begitu anda punya banyak alasan untuk menghabiskan waktu bersama."

"Ah, ini sudah sangat larut. Pantas saja bicaramu asal-asalan. Sudah tidur sana."

"Tapi apa yang saya kata-"

Tut.. Tut..

Panggilannya seperti biasa langsung berakhir begitu saja. Dan Peter terbaring di atas tempat tidurnya sambil memikirkan apa yang Daniel katakan.

***

LEGIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang