23 (C)

862 50 0
                                    

"Calm down, Seena. Everything will be okay." Aidan mengelus rambut Seena, membawanya ke dalam pelukannya.

"Tapi aku takut, Aidan. Aku tidak mengenal mereka, apa salahku? Kenapa mereka menculikku seperti itu."

"Kamu kenapa malah ngikutin orang yang ga kamu kenal? Kalau kamu ga ikutin mereka, kamu bakal aman."

"Kenapa jadi marah sama aku? Aku ikut mereka karena aku dapat note kecil dan ada nama kamu di sana. Jadi aku ikut aja."

"Jangan pernah ikut siapapun jika aku tidak memberitau-mu, Seena. Bagaimana jika tidak ada aku atau Peter tadi?"

"Jadi, tolong, lain kali jangan ikut sembarang orang pergi. Dan jika memang ada nama-ku di sana, setidaknya kamu tanya dulu. Oke?" Seena mengangguk.

"Sekarang tidurlah, kamu aman bersama-ku. Kali ini aku tidak akan lengah, Seena."

Seena menggeleng. "Aku tidak mau tidur. Setiap aku menutup mata-ku, bayangan tadi selalu muncul. Seakan aku masih ada di tempat itu."

"Tarik nafas-mu, lalu hembuskan. Seperti itu terus, sampai kamu merasa tenang." Seena mengikuti instruksi Aidan.

Sekarang dia sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. "Sekarang tutup mata-mu. Lupakan kejadian tadi, ingat saja sesuatu yang membuat-mu bahagia." Aidan sesekali bersenandung.

Cara Aidan berhasil, Seena akhirnya bisa tertidur. Orang tua Seena masih belum bisa pulang, mereka kembali minggu depan. Sepertinya Aidan harus mengambil cuti selama seminggu ini agar bisa menemani Seena.

Aidan menerima panggilan dari sekretarisnya. Dengan perlahan, Aidan memindahkan kepala Seena di bantal dan menyelimuti-nya. Lalu mengangkat panggilannya.

"Ya, ada apa?"

"Ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda."

"Siapa? Saya tidak mempunyai janji temu hari ini."

"Seseorang yang ikut serta membahas tentang pembangunan yang sudah dibahas."

"Bilang saja saya tidak punya waktu. Atur jadwal pertemuannya lain kali untuk saya. Dan, saya ingin mengambil cuti seminggu ini. Jadi, jika ada rapat atau apapun, segera atur jadwal untuk saya."

"Baik, Pak."

Aidan kembali menemani Seena. Rasanya, Aidan tidak pernah bosan melihat wajah Seena. Wajahnya sangat menggemaskan, apalagi saat dia sedang tidur.

Ada panggilan masuk lagi. Dengan malas, Aidan mengangkatnya. "Bukankah saya sudah bilang untuk mengatur jadwalnya lain kali-"

"Apa aku mengganggu-mu, Aidan?" Aidan melihat siapa yang meneleponnya, ternyata Nessa. Seharusnya tadi dia melihat dulu sebelum langsung mengangkatnya.

"Ya, sangat mengganggu-ku. Aku matikan jika ini tidak penting."

"Oh, ini sangat penting. Seena akan berada dalam bahaya jika kamu terus bersamanya. Jika kamu ingin Seena aman, kembalilah kepada-ku."

"Kau pikir aku takut dengan ancaman-mu? Aku akan selalu ada untuk melindungi Seena, jadi tenang saja."

"Mungkin orang suruhan-ku kemarin tidak berguna, tapi kali ini aku akan melakukannya dengan cara-ku. Tunggu saja, Aidan."

"Ya, akan aku tunggu."

Aidan melempar asal ponselnya. Dia benar-benar tidak peduli dengan apa yang Nessa rencanakan. Aidan yakin, selama Seena bersamanya, Seena aman.

Seena terbangun dari tidurnya. "Apa aku mengganggu tidur-mu, Seena?" Seena menggeleng.

"Pukul berapa ini?"

"12 malam."

"Kamu ga pulang?" Aidan menggeleng.

"Aku menginap. Tenang saja, aku bisa tidur di ruang tamu."

"Kamu yakin mau tidur di ruang tamu?"

Aidan mengangguk. "Kenapa engga?"

"Ya, takutnya kamu ga terbiasa tidur di sofa."

"Aku pernah tidur di sofa, Seena. Jadi, tenanglah, dan sekarang kembali tidur."

"Kamu juga tidur, Aidan. Sudah malam."

"Setelah memastikan kamu tidur, aku akan keluar dan tidur juga. Jadi cepatlah tidur jika kamu ingin aku tidur." Seena mengangguk dan kembali menutup matanya.

"Goodnight, Seena." Aidan keluar dari kamar Seena dan menutupnya dengan pelan karena tidak ingin mengganggu tidur Seena.

Seena belum tertidur saat Aidan keluar dari kamarnya. Seena benar-benar tidak merasa nyaman dengan semua ini. Apalagi dengan semua kejadian yang dialaminya hari ini.

Seena memutuskan untuk mengambil segelas air di luar. Setelah minum segelas air, Seena merasa baikan. Seena melihat Aidan sudah tertidur.

Seena mendekatinya, mengelus rambutnya. "Aidan, terima kasih karena sudah menemani-ku di sini. Bahkan, kamu tidur di sofa, mungkin hal yang sangat jarang kamu lakukan."

Tangan Aidan menahan lengan Seena saat dia beranjak dari duduknya. "Kenapa belum tidur, Seena?"

"Kamu sendiri, kenapa belum tidur?"

"Bukannya aku sudah bilang aku akan tidur saat kamu sudah tidur?

"Bagaimana kamu bisa tau kalau aku belum tidur?"

"Aku ini tau semua tentang-mu, tidak ada yang tidak aku tau, Seena."

"Kamu yakin? Kalau begitu coba tebak, apa yang aku pikirkan?"

"Ah, itu mudah. Paling kamu sedang mengatakan 'Aidan, kenapa kamu sangat tampan?' atau 'aku bahagia bisa bersama-mu' iya kan?"

Seena menggeleng cepat. "Sok tau kamu mah. Aku ga mikir gitu sih."

"Iya, kamu mikir gitu."

"Engga."

"Iya."

"Engga."

"Iya."

"Ah, kamu nyebelin banget sih."

"Kamu sih gamau ngaku daritadi. Udah tidur sana, nanti aja baru lanjut debatnya."

"Iya iya, aku tidur dulu."

"Iya, pergi sana." Setelah Seena pergi, Aidan kembali tertidur. Sebenarnya tadi dia sudah ketiduran, tapi mendengar pintu kamar Seena terbuka, dia terbangun.

***

LEGIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang