#207

556 65 5
                                    

22 Juli, 15:44.

Cameron membangunkanku melalui sebuah pesan, dia bilang dia punya kejutan untukku.

Aku terbangun dengan senyuman.

Sesuatu yang belum pernah terjadi padaku...

Aku bangun, mandi, berpakaian, dan turun untuk sarapan, lalu pergi ke rumahnya. Little Turd membukakan pintu untukku, menyambut ke dalam rumahnya.

"Hai, Stephanie," katanya. Dia sedang mengenakan kostum Batman dan rambutnya kelihatannya seperti baru disapu tornado.

"Hey, T." Aku tertawa. Rasanya 'T' lebih baik daripada 'Turd'.

"Para gadis sungguh membingungkan," gumamnya, duduk di sofa. Aku melihat ke sekeliling dan Cameron tidak ada, jadi aku duduk di sampingnya.

"Kenapa?" Aku bertanya, tersenyum.

"Kenapa seseorang sekeren dirimu mau bersama dengan seseorang semembosankan Cameron saat aku ada?" keluhnya, menyilangkan lengan di dengan dadanya, tampak jelas sekali terganggu.

Itu membuatku tertawa. Dan dia hanya melihatku dengan matanya yang masih kecil.

"T, kau sungguh lucu," kataku, mengacak rambutnya.

"Dan aku juga available." Little Turd tersenyum padaku.

Aku masih berusaha mengontrol tawaku. Bocah ini berpotensi menjadi komedian.

"Baiklah, tapi apa kau melihat Cameron?" Aku bertanya, berdiri dari posisiku yang nyaman di sofa.

"Iya, dia di kamarnya, melakukan sesuatu yang aneh dengan bola." T bilang, wajahnya mengernyit.

Oh. Aku berterima kasih padanya dan pergi ke kamarnya. Pintunya terbuka, jadi aku masuk. Cameron memunggungiku dan ada tiga buah bola di kamarnya.

"Sial, aku harus bisa melakukan ini," gumamnya pada diri sendiri. Dia belum melihatku.

Lalu, dia mulai melemparkan bolanya, membuat suatu juggle. Ketiganya jatuh lima detik kemudian. Sangat imut. Dia geram lalu mengambil bolanya di lantai.

Saat itulah dia melihatku. Wajahnya berubah memerah dan aku melihat ronanya.

"Steph," katanya, matanya melebar. "Aku kira kau baru akan kemari nanti." Ia menelan ludah.

"Apa yang terjadi?" Aku bertanya dengan sebuah senyuman di bibir.

"B-bukan apa-apa," Ia memaksakan sebuah senyuman dan berusaha menyembunyikan bolanya dengan melemparkannya ke belakang lemari.

"Kau bilang kau punya kejutan," aku tertawa.

"Yah, aku mengacaukannya," keluhnya.

Dia mendekat padaku dan sebelum aku sempat mengatakan apa pun, mendaratkan bibirnya pada bibirku. Dia begitu lembut, seperti yang selalu kuingat, dan membuatku merasa pening; dalam arti yang baik.

"Aku merindukanmu," katanya walaupun kita baru bertemu tiga hari yang lalu.

"Aku juga merindukanmu," balasku. "Jadi, mana kejutanku?"

"Itu... di sana..." Dia menunjuk ke arah bola-bolanya berada.

"Beberapa bola plastic?" Aku tertawa.

"Yah, aku seharusnya menjugglenya. Tapi aku bahkan tidak bisa mempertahankannya lebih dari lima detik."

"Ya, coba lagi." Aku tersenyum dan dia memutar bola matanya lalu meraih bolanya.

"Baiklah, aku akan mencoba." Dia berkata dan mulai melakukannya.

Bola-bola itu jatuh tiga detik kemudian.

"Hmm, aku belajar memasak. Dan aku bisa membuat roti bakar." Dia menunduk dan mengarahkan pandangannya ke lantai.

Aku mengernyitkan dahiku. Dia bersikap aneh sejak aku datang kemari.

Aku terkekeh. "Aku yakin kau bisa membuat roti bakar yang enak."

"Kadang rotinya gosong karena aku melupakannya saat menonton kartun di pagi hari," dia cemberut.

"Kau menonton kartun?" Aku tertawa sekali lagi.

"Tidak," sanggahnya dengan cepat, memasang tampang serius. "Tentu tidak, kartun hanya untuk anak kecil."

"Kalau begitu, aku anak kecil. Aku sukaa kartun," kataku.

"Aku bercanda, aku juga menonton kartun."

Aku tertawa.

Cameron telah menjadi segala yang terbaik. Kekasih terbaik. Sahabat terbaik. Pendamping. (Siapa sih yang masih bilang 'pendamping' di masa sekarang? Lol)

Aku cuma ingin yang terbaik terjadi di antara kami. Karena saat ini, kalau boleh jujur, aku tidak bisa lebih bahagia lagi.


Things I Could Never Tell You [Translation in Bahasa Indonesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang