#265

507 32 0
                                    

17 September, 8:36.

Jadi sekarang resmi. Kita semua ada di kafetaria. Aku tengah duduk bersama Cameron. Kau duduk bersama teman-temanmu di meja yang lain. Aku melihat ke samping dan tampak Sophie duduk bersama Laurel.

Pertama, aku terpikir betapa dia telah menjadi pengkhianat besar bagiku. Lalu, kedua, dia seorang munafik, karena dia mengkritisi begitu banyak orang yang berada di "sisi tergelap dunia", lalu sekarang dia masuk dalam sisi yang itu bersama mereka.

Lalu, aku melihat Laurel, berjalan menuju mejamu. Tidak ada yang tampak aneh sampai kau mengatakan sesuatu yang sepertinya membuatnya kesal.

Aku tentu tidak mendekat, karena aku tidak peduli pada kalian dan pertengkaran kalian yang seperti bocah, tapi dia tiba-tiba menyerukan kemarahannya. Saat itulah kau bangkit dari kursimu. Kau mulai mengatakan sesuatu padanya dan dia membalas perkataanmu.

Sophie masih duduk di tempatnya yang semula, hanya menonton dengan sesekali menggelengkan kepalanya dengan penuh kekecewaan. Selagi menyeringai.

Beberapa menit kemudian, kau dan Laurel mulai berdebat dengan keras sampai semua orang bias mendengar.

"Laurel, aku akan duduk di mana aku mau duduk," katamu dengan suara yang keras.

"Kau pacarku dan kau atlet yang paling berbakat di sekolah. Kau seharusnya duduk denganku," geramnya seraya berkacak pinggang.

"Lalu?" tanyamu. Dia mengeram frustrasi.

"Beberapa minggu terakhir, kau tidak pernah meluangkan waktumu untukku, Tyler," serunya. Sekarang, semua mata tertuju padanya. "Kau terus saja bermain-main bersama pemain-pemain football itu," katanya, mengalihkan pandangannya ke mejamu dimana yang lain menyaksikan.

"Mungkin kalau kau tidak begitu menyebalkan, aku akan duduk di sampingmu," balasmu.

Hampir semua menyuarakan 'oooh' karena perkataanmu itu.

"Mungkin kalau kau tidak begitu lamban, aku tidak akan pergi bersama dengan Brandon," balasnya kembali berteriak.

Mataku melebar dan begitu pula dengan orang lain. Bahkan mungkin semua rahang terbuka mendengar perkataannya.

Kau menoleh ke belakang. Brandon Johnson, teman mainmu tengah memandang ke lantai. Saat itu kau tahu bahwa dia mengatakan kebenarannya.

Laurel dengan wajahnya yang mematung, menunjukkan seberapa menyesalnya dia telah membuka mulutnya untuk berbicara baru saja.

"Kau tahu aku berbohong 'kan, saying, ya 'kan?" Dia berbalik menghadapmu. Wajahmu sangat serius, tanpa ekspresi yang mudah tergambarkan.

"Laurel," katamu. Dia memandang kepadamu, menelan ludah. Napasku mulai bergetar sedikit. "Terima kasih. Sungguh. Aku sudah berusaha mencari cara untuk mengakhiri hubungan ini secara resmi dari sejak lama. Tapi aku tidak menemukan satu cara pun tanpa membuatnya kelihatan kasar," kau tersenyum, tapi aku tahu dengan jelas bahwa itu palsu.

Dia melihat dengan tidak percaya. "Apa katamu?" serunya.

Kau hanya mengedikkan bahumu. "Kau dengar apa itu."

"Kita putus!" Dia tampak seperti kesulitan bernapas, tapi blusnya kelihatan terlalu ketat sampai menghalangi jalan pernapasannya.

"Kita sudah putus sejak lama," ujarmu, berbalik seraya meraih tasmu dan pergi.

Aku melihat wajahmu saat kau melaluiku. Kau tidak baik-baik saja, meskipun semua berpikir tidak demikian.

Aku menoleh ke arah Cameron dan dia mengangguk, maksudnya menyetujuiku untuk pergi mengejarmu.

Jadi aku pergi.

Cameron tahu aku mencintainya. Dia tahu iut. Tapi dia juga tahu kalau kau sesuatu yang memegang peranan penting dalam hidupku. Dan tak peduli apa pun juga, saat kau membutuhkan aku, aku akan ada di sana untukmu.

Aku akan ada di sampingmu, karena kau tidak pernah melakukan hal itu untukku.


Things I Could Never Tell You [Translation in Bahasa Indonesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang