#228

507 43 2
                                    

12 Agustus, 15:42.

Kalau aku bilang hari ini kesannya canggung, tentu hal itu kurang bisa menggambarkan apa yang terjadi. Cameron menjemputku untuk berangkat sekolah hari ini tanpa ibu ketahui. Aku bilang pada ibu aku akan pergi dengan bis sekolah dan menemui Cameron di perhentian bis.

Ketika dia datang, aku menciumnya dan mengatakan aku merindukannya. Dan yah, terserah kalau kau mau menghakimiku. Tapi sekarang salah satu hal yang paling berat untuk kulakukan yaitu untuk tidak merindukan Cameron. Dia sangat 'ngangenin'.

"Oh, apa yang telah kulakukan hingga layak mendapatkan itu tadi?" tanyanya, mencubit pipiku.

"Tidak ada, hanya saja karena kau ada." Aku tersenyum dan dia menciumku lagi.

Dia berkendara ke sekolah dan kami hanya berbincang tentang hal ini dan itu. Dia bilang ibunya tidak menunjukkan sinyal apa pun terkait T. Dia masih sangat bersedih, tapi dia bilang dia tidak mau khawatir karenanya, atau keadaannya akan jauh lebih buruk lagi baginya.

Kami tiba di sekolah. Kami punya kelas-kelas yang berbeda, jadi kami berpisah. Segalanya baik-baik saja sampai jam makan siang. Kau ada di bangkumu bersama teman-temanmu. Itu pertama kalinya aku melihatmu sejak beberapa minggu yang lalu. Begitu kau melihatku, kau mengisyaratkan supaya aku mendekat. Menghela napas, aku berjalan ke arahmu.

Laurel tidak ada.

"S," kau tersenyum.

Aku mengerutkan dahi. Setelah kau berubah, kau tidak pernah berbicara padaku saat teman-temanmu ada. Sampai hari ini.

"Aku mencarimu ke mana-mana," katamu, berdiri lalu memberiku sebuah pelukan.

Itu pertama kalinya. Untuk pertama kalinya kau memelukku seperti sebelumnya. Seolah kau sungguhan ingin bersama denganku. Seolah kau tidak malu karena diriku.

Aku tidak membalas pelukan itu. Aku tidak tahu apa itu karena aku terkejut atau karena aku masih sadar diri bahwa kita ada di tengah orang banyak.

Aku memandang ke depan dan Cameron ada di sana. Wajahnya tidak memberitahuku emosi apa pun. Sulit bagiku untuk mengerti apa yang saat itu dia rasakan.

Teman-temanmu mulai menyerukan "oooh".

"Sudah melupakan Laurel?" Salah satu dari mereka bertanya.

Aku cepat-cepat menjauh. Aku tidak ingin dilihat sebagai 'gadis yang satu lagi'.

Cameron mendekat.

"Stephanie," ujarnya.

Tyler memberinya tatapan tajam. "Wow, kau benar-benar mengikutinya ke mana pun, ya? Seperti anjing hilang saja, 'kan?" Kau tersenyum sinis.

"Yah, dia pacarku." Cameron membalas senyumanmu. "Setidaknya aku bukan tipe pacar yang tidak tahu kalau aku diselingkuhi," katanya.

"Apa kau bilang?" kau bertanya, mengangkat alismu.

"Tidak, lupakan saja. Aku tidak mau membuang waktuku bersamamu," katanya padamu.

Kau mencengkeram tanganmu dengan erat tapi lalu duduk kembali. Cameron meraih tanganku lalu membimbingku ke meja dimana dia duduk sebelumnya.

Dia duduk dengan gugup lalu melarikan jemarinya di rambut.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Kau masih bertanya, Stephanie?" Dia mendesah.

"Aku tidak membalas pelukannya," gumamku.

"Bukan itu masalahnya," Cam berbisik. "Aku melihat mukamu. Kelihatannya kau tidak pernah ingin meninggalkan dekapannya."

"Tentu saja tidak, Cam," aku menenangkannya.

"Kau tahu kalau aku benar," katanya. "Tapi apa kau pernah berhenti dan berpikir seperti apa hal itu bagiku?" dia bertanya, menggigit bibir bawahnya.

"Aku merasa sangat kacau, karena aku tahu bahwa butuh tiga kali lebih lama buatmu untuk menyukaiku daripada dirinya," katanya. "Selama ini aku menghabiskan waktu berusaha membuatmu terkesan dan membuatmu menyukaiku, tapi dia bisa cuma menghabiskan sepertiga waktuku untuk itu. Dia melukaimu dan itu memberimu lebih banyak alasan untuk mencintainya." Dia menghela napas.

Aku melihat ke lantai. Hal itu mungkin benar sebelum ini. Sebelumnya, ketika aku belum tahu harga yang pantas untuk diriku.

Aku masih mencintaimu, tapi aku sekarang tahu kapan aku harus berhenti. Kau sudah cukup sering melukaiku. Meskipun kau tidak menyadarinya. Aku sudah cukup muak menghadapi sikap aroganmu itu.

Yah, rasanya nikmat membiarkan kalimat itu keluar dari mulutku.

Things I Could Never Tell You [Translation in Bahasa Indonesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang