#266

527 31 0
                                    

18 September, 16:32.

Aku lupa menulis apa yang terjadi kemarin, karena segalanya berlangsung sangat cepat dan aku tidak sedang dalam mood untuk mengetik semuanya. Saat kau berjalan melewatiku, aku melihat raut di wajahmu. Kau mungkin sudah banyak berubah, tapi ada beberapa hal yang tetap sama dan tidak akan berubah. Wajahmu tidak menunjukkan emosi apa pun. Tidak ada kemarahan, tidak ada kesedihan; hanya ekspresi kosong yang tidak sulit untuk aku pahami.

Aku tahu kau tidak baik-baik saja. Kau boleh membohongi semua orang dengan berkata bahwa kau baik-baik saja. Tapi kau tidak akan pernah bisa membohongiku. Aku tahu saat kau sedang merasa buruk meskipun kau bilang sebaliknya. Aku memberikan Cameron sebuah tanda dan dia membiarkanku pergi. Aku mengejarmu. Saat aku keluar dari kafetaria, kau tidak lagi kelihatan di sekitar. Aku pergi mengecek semua kelas, tapi kau tidak ada di mana pun. Aku mencari di toilet pria, tapi kau tidak di sana.

Pada saat aku pergi ke tempat parkir, aku sadar bahwa mobilmu tidak ada. Aku mengambil kunciku lalu menyetir ke satu-satunya tempat yang bisa terpikirkan di kepalaku mengenai keberadaanmu. Halaman belakangku. Aku ingat, setiap suasana hatimu sedang buruk, kau akan pergi ke sana; melompati pagar dan berdiam di halaman belakang kita. Aku akan selalu menemukanmu di sana dan kita akan berbarik di rumput memandangi langit biru California.

Begitu aku tiba di rumah, aku melihat mobilmu. Aku membuka pagar lalu melangkah menuju halaman belakang. Kau di sana, berbaring di rumput dan memandang ke langit. Matamu tajam dan wajahmu memerah.

Aku mendekat. Saat kau melihat keberadaanku, tanganmu bergerak mengacaukan rambutmu.

"Maaf aku datang kemari," gumammu. "Aku tahu aku tidak punya hak untuk berada di sini, karena ini bukan rumahku. Setidaknya tidak lagi. Aku... aku hanya tidak tahu harus ke mana dan tempat ini yang pertama kali muncul di kepalaku."

Bibirmu tampak bergetar, meski samar. Kau menarik napas dalam untuk mengendalikan diri.

"Rasanya tidak masalah walau aku jarang datang kemari. Tapi tempat ini tetap terasa seperti rumah. Selalu." Suaramu parau. "Kenangan-kenangan terbaikku aku habiskan di sini. Di halaman ini." Kau berbisik, lebih kepada dirimu sendiri dengan nada suara yang lirih.

Aku berjalan lebih dekat lalu duduk di sampingmu.

"Tuhan, kenapa aku bisa begitu bodoh?"

Aku berbaring di sampingmu.

Untuk pertama kalinya, aku tidak membencimu karena telah pergi meninggalkanku. Aku tahu kalau semuanya harus terjadi seperti ini. Kalau tidak, aku tidak akan mengubah cara pandangku terhadap dunia.

"Kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi pada diri kita, sungguh," kataku pada akhirnya. "Aku rasa satu-satunya hal yang dapat kita lakukan yaitu mempersiapkan diri kita untuk menghadapi segala sesuatu yang datang menghampiri."

"Aku mencintainya," katamu, "Dulu."

"Aku tahu," sahutku.

"Kenapa kita selalu berakhir mencintai orang yang salah pada waktu yang salah?" tanyamu, mengalihkan pandanganmu ke samping untuk melihatku.

"Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita merasakan cinta." Aku tertawa.

Kau tersenyum.

"Memang tidak bisa," gumammu. Lalu kita hanya berdiam di sana dalam keheningan. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diutarakan.

Kata-kata tidak akan berarti apa pun saat itu.

Things I Could Never Tell You [Translation in Bahasa Indonesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang